Tekno  

Balada Gas “Genosida” | Radar Malang Online

Jika pada tahun 1921 Jenderal Amos Fries dari Amerika Serikat tidak mempelopori penggunaan gas air mata untuk menjaga ketertiban, mungkin tragedi pedih 1 Oktober 2022 tidak akan pernah terjadi. Andai saja petugas yang bertugas di pertandingan itu bisa menahan diri, mungkin tragedi kelam ini juga tidak akan terjadi.

Hari ini adalah minggu tragedi paling memilukan dalam sejarah sepak bola Indonesia. Masih sulit dipercaya. Masih banyak yang meneteskan air mata saat mengingatnya. Tak sedikit yang trauma. Tak sedikit yang berlinang air mata saat melihat cuplikan video tragedi tersebut. Saya memilih untuk menghapus semua video dari ponsel saya.

Sebenarnya, jika aparat di dalam negeri mau belajar dari sejarah, tragedi itu bisa dihindari. Dua kasus serupa yang merenggut banyak nyawa juga disebabkan oleh gas air mata. Tragedi pertama terjadi di Stadion Nacional, Peru, 24 Mei 1964. Saat itu ada 328 korban jiwa. Semuanya dimulai dengan gas air mata. Penonton panik, lalu berdesak-desakan. Akhirnya banyak yang terinjak-injak.
Lalu ada tragedi di Stadion Accra, Ghana, 9 Mei 2001. Ada 126 orang yang meninggal saat itu. Tragedi di sana mirip dengan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan. Setelah gas air mata ditembakkan, beberapa pintu keluar terkunci. Apa yang terjadi selanjutnya sudah bisa diprediksi. Hal yang sama terjadi di Kanjuruhan yang menewaskan 131 orang. Dari jumlah tersebut, dua di antaranya adalah petugas.

Secara total, tiga tragedi kelam di dunia sepakbola telah merenggut 585 nyawa. Semuanya dimulai dengan tembakan gas air mata. Jika ditambah dengan korban gas air mata dari medan perang, jumlahnya lebih banyak lagi. Bisa sampai jutaan jiwa. Lebih buruk dari genosida. Anna Feigenbaum, penulis buku berjudul “Gas Air Mata: Dari Medan Perang Perang Dunia I hingga Jalan-Jalan Hari Ini”, menyebutkan bahwa Prancis adalah pelopor pertama. Penggunaan gas air mata mulai masif selama Perang Dunia I. Kubu Jerman, yang saat itu merupakan musuh Prancis, mengikutinya.

Gas air mata di medan perang dinilai efektif. Biayanya lebih murah. Paparan gas yang dilemparkan ke parit membuat para prajurit lawan panik. Jadi lebih mudah untuk menonaktifkan. PBB kemudian melarang penggunaan gas air mata di medan perang, yang termasuk dalam kategori senjata kimia. Organisasi hak asasi manusia, Amnesty International, juga mengutuknya.

Di Indonesia, penggunaan gas air mata oleh polisi diatur dalam Peraturan Kapolri No I/X/2010. Jika ada perlawanan fisik, polisi diperbolehkan mengambil langkah melumpuhkan. Salah satunya menggunakan gas air mata. Bisa juga menggunakan senjata tumpul. Aturan ini mungkin menjadi salah satu dasar bagi aparat dalam menjaga pertandingan sepak bola. Jika benar, tentu sangat disayangkan.

Anggapan itu sangat tidak berdasar. Pasalnya penggunaan gas air mata dalam pertandingan sepak bola di Indonesia sudah menjadi “lagu lama”. I Putu Gede, mantan kapten Singo Edan, telah memberikan kesaksiannya kepada media tempat saya bekerja.
Saat itu, 26 tahun silam, dirinya yang masih membela tim Mitra Surabaya merasa terkena gas air mata. Itu terjadi pada pertandingan semifinal Divisi Satu musim 1996/1997. Gas air mata, menurut dia, ditembakkan di belakang gawang Bandung Raya yang menjadi lawannya. Tujuannya adalah untuk mengurai kekacauan fans. “Namun saat itu tidak ada korban jiwa,” katanya.

Di Stadion Kanjuruhan, kerusuhan karena gas air mata sebenarnya terjadi pada 2018. Saat itu ada satu korban jiwa. Banyak yang menyebut kasus itu sebagai Bencana Kanjuruhan I. Empat tahun kemudian, kasus yang sama terulang. Wajar untuk mengajukan pertanyaan seperti ini: Apa yang salah dengan pihak berwenang? Apakah mereka tidak tahu aturan dari FIFA?

Saya sebenarnya berharap pertanyaan-pertanyaan ini bisa dijawab oleh Presiden Joko Widodo saat datang ke Malang. Sayangnya, saat meninjau Stadion Kanjuruhan, perhatiannya lebih tertuju pada fasilitas yang ada. Tangga menuju pintu keluar disebut terlalu curam. Kekhawatiran berikutnya mengarah pada kepatuhan administratif. Hal ini menyebabkan perintah untuk mengaudit semua stadion di Indonesia.
Beruntung pertanyaan itu sedikit terjawab saat Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengumumkan enam tersangka dalam tragedi Kanjuruhan, Kamis (6/10) lalu. Saat menetapkan Kapolres Malang sebagai salah satu tersangka, ia pun menjelaskan alasannya. Dikatakan, Kapolres Malang memahami aturan FIFA yang melarang penggunaan gas air mata. Namun, yang bersangkutan tidak mencegah atau melarang penggunaannya.

Dari alasan ini, saya menyimpulkan bahwa petugas polisi lainnya, terutama yang memegang kendali komando, tidak tahu tentang aturan FIFA. Setidaknya asumsi awal saya bisa diterapkan pada dua orang yang memberi perintah untuk menembakkan gas air mata. Jika itu benar, maka ini adalah berita buruk.

Perhatian dunia masih tertuju pada tragedi Kanjuruhan. Mayoritas media di luar negeri juga menyoroti sistem keamanan pertandingan sepak bola di Indonesia. Itu hal yang sensitif di luar sana. Ingat, tahun depan Indonesia akan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20. Pasca tragedi Kanjuruhan, belum ada kabar lebih lanjut terkait penunjukan tuan rumah. Sejumlah petinggi PSSI mengatakan FIFA tidak mencabutnya.

Mereka tidak malu mengatakan itu. Bahkan, dari tragedi Kanjuruhan, kelemahan sistem keamanan mulai terlihat. Publik internasional sudah tahu. Mereka juga telah mengajukan kritik. Juga belasungkawa. Itulah sepak bola. Sedih untuk satu sisi, sedih untuk semua. Tidak ada batasan dalam sepak bola. Solidaritas suporter sepak bola memang tiada duanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.