Tekno  

Dibalik Misteri Gas Air Mata Bandung Raya vs Mitra Surabaya

Berdasarkan Kompas, ada tujuh pemain Mitra Surabaya dan dua pemain Bandung Raya yang tergeletak di lapangan. Pemain Mitra Surabaya yang harus dirawat di rumah sakit karena muntah antara lain Kuncoro, Hendro Kartiko, Supadi, Putu Gede, Marzuki Badriawan, Tibidi Alexis, dan Da Costa.

Insiden gas air mata itu tidak menimbulkan korban jiwa. Namun, menodai kompetisi sepakbola tertinggi di tanah air. South China Morning Post bahkan diejek dengan menyebutkan, acara pertandingan sepak bola dihentikan karena gas air mata bisa masuk Guinness Book of Records.

Pelatih Bandung Raya Albert Fafie kaget dengan kejadian tersebut. “Sepanjang karir saya di sepak bola, ini pertama kalinya saya mengalami hal buruk seperti ini,” katanya Kompas. Kesaksian pemain Bandung Raya, Budiman kepada Kompas, dia merasa wajahnya sangat panas. “Seperti digosok dengan obat gosok dan sedikit sesak napas,” kata Budiman.

Diriwayatkan oleh Abrar Yusra dalam kitab Azwar Anas: Contoh dari Alam Minang (2011), Ketua Umum PSSI Azwar Anas yang menyaksikan langsung pertandingan tersebut terlihat kebingungan saat kejadian tersebut terjadi. “Apa itu?” kata Azwar.

Berbagai spekulasi mengenai pelaku ledakan gas air mata pun bermunculan. Kompas Edisi 26 Juli 1997 menyebutkan, gas keluar dari pintu kuning stadion. Dugaan lain, ledakan gas berasal dari penonton di sektor empat yang dipenuhi suporter Bandung Raya. Namun, Azwar tidak yakin dengan tuduhan tersebut. Pasalnya, Bandung Raya unggul 1-0.

“Bisa jadi ada petugas yang tidak sengaja menduduki tabung gas, sehingga gas meletus,” kata Azwar, seperti dikutip dari Jakarta. Kompas.

Suporter Persebaya membantah suporter tersebut sebagai pelaku pelemparan gas air mata berbau amoniak. Tidak mungkin, kata dia, gas itu dilempar penonton karena saat masuk stadion diperiksa petugas.

“Dan bahkan jika kamu ingin membeli sesuatu seperti seperti itu siapa bisa? Harganya mungkin mahal,” katanya dalam sebuah pernyataan Spanduk Komunitas4 Agustus 1997.

Seorang pemain harus ditandu untuk mendapat perawatan usai terkena gas air mata pada babak semifinal Liga Indonesia atau Liga Kansas 1996/1997 di Stadion Utama Senayan, Jakarta, Jumat (25/7/1997)./ Foto oleh Panji Masyarakat, Nomor 16 Tahun I/4 Agustus 1997

Seorang petugas yang mengamankan pertandingan untuk Kompas membantah bahwa gas itu berasal dari senjata di pinggang mereka. Dia mengatakan, tidak mungkin penonton satu stadion mencium bau gas jika petugas hanya melempar tabung gas.

“Saya kira ini gas dari tabung seukuran kaleng roti Regal yang dibawa petugas untuk membubarkan kerusuhan,” katanya.

Dalam Kompas, 31 Juli 1997, Kapolri Jenderal (Pol) Dibyo Widodo menilai penyemprotan gas air mata itu disengaja. “Kalau tidak, bagaimana bisa gas itu mengalir sendiri ke tengah lapangan,” kata Dibyo.

Dari pemeriksaan sementara, kata Dibyo, gas air mata sengaja dilemparkan ke bagian bawah stadion yang dibungkus kantong plastik hitam. Dia menegaskan bahwa gas air mata itu bukan milik aparat keamanan.

Sementara dugaan lainnya, gas air mata sengaja ditembakkan oleh pihak berwajib. Komentator pertandingan Bandung Raya vs Mitra Surabaya memberikan pandangan saat para pemain berhamburan keluar lapangan.

“Sementara ada beberapa insiden. Dimana menurut visi kami, aparat keamanan mengeluarkan gas air mata, namun justru para pemain di lapangan menjadi terganggu,” kata komentator.

Dalam redaksi, Kompas bahkan menyebutkannya. “Saya tidak tahu apa pertimbangannya, aparat keamanan menembakkan gas air mata untuk mencegah beberapa penonton kebablasan,” tulisnya. Kompas26 Juli 1997.

Penyelidikan polisi terus berlanjut. Namun, tidak pernah menemukan titik terang. Tidak pernah terungkap siapa pelaku yang menyebabkan gas air mata menyembur di stadion.

Pertandingan tersisa 28 menit pada 26 Juli 1997 yang digelar tanpa penonton itu tidak mengubah skor, masih 1-0 untuk Bandung Raya. Pertandingan final antara Bandung Raya dan Persebaya diundur sehari, dari 27 Juli 1997 menjadi 28 Juli 1997.

Elemen politik dan tuntutan hukum penonton

Insiden itu sampai ke telinga Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC). AFC juga meminta laporan resmi PSSI. Menurut Sekretaris Jenderal AFC Dato Peter Velappan, seperti dikutip dari KompasKasus 27 Juli 1997 itu tak lepas dari makin maraknya kerusuhan di Liga Indonesia.

“Menurut dia, keramaian dalam pertandingan sepak bola harus dikendalikan. Namun, kontrolnya tidak boleh mengganggu jalannya pertandingan, tulis Kompas.

Pasukan keamanan kewalahan selama semifinal Liga Kansas. Soalnya, dua klub Surabaya tampil di partai tersebut, yakni Mitra Surabaya dan Persebaya melawan PSM. Kedua tim memiliki pendukung fanatik yang disebut bondho sembrono (boneka).

Saat itu, citra negatif boneka tebal itu dituding sebagai pembuat onar. Ribuan boneka menyerbu Jakarta dari Surabaya dan sekitarnya jelang semifinal, tanpa bekal yang cukup. Ratusan orang dipulangkan karena dianggap sebagai perusuh.

Berdasarkan Spanduk Komunitas, saat pertandingan semifinal, banyak boneka yang menerobos pagar pembatas untuk masuk stadion secara gratis. Tak kurang dari 1.000 orang berhasil melarikan diri. Mereka kemudian dibubarkan oleh polisi dengan menggunakan pentungan dan peluru karet.

Aparat keamanan membubarkan suporter yang akan masuk tanpa tiket ke Stadion Utama Senayan, Jakarta saat pertandingan Bandung Raya melawan Mitra Surabaya, Jumat (25/7/1997)./ Foto Panji Masyarakat, Nomor 16 Tahun I/4 Agustus 1997

Ada dugaan, gas air mata itu merupakan kesengajaan untuk menggeser pertandingan final, dari 27 Juli menjadi 28 Juli. Pasalnya, pertandingan final yang dijadwalkan bertepatan dengan satu tahun peristiwa 27 Juli 1996 atau disebut kerusuhan 27 Juli. (kudatul).

Saat itu, kerusuhan meletus, dipicu oleh pengambilalihan paksa kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, yang dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri oleh pendukung Soerjadi. Berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, kerusuhan tersebut menelan lima korban jiwa, 149 orang luka-luka, dan 136 orang ditahan.

Jurnalis senior Karni Ilyas dalam tulisannya “Kita Sering Ceroboh” dalam bukunya Boneka: Berani karena Bersama (1997) menulis bahwa pasukan keamanan khawatir tentang potensi kekacauan karena final Liga Kansas dijadwalkan pada 27 Juli.

Pangdam V Jaya Mayjen Sutiyoso yang dinilai berhasil mengamankan Jakarta pada masa kampanye Pilkada (Mei 1997), jelas tidak ingin reputasinya dirusak oleh suporter sepak bola, tulis Karni.

Spanduk Komunitas mengatakan di antara ribuan penggemar sepak bola, ada kecurigaan bahwa polisi memiliki motivasi politik untuk datang ke Jakarta. Bahkan ada yang menduga akan bergabung dengan massa PDI pro Megawati untuk menggelar aksi peletakan bunga memperingati peristiwa 27 Juli.

Pada akhirnya, PSSI meminta maaf atas insiden gas air mata tersebut. Namun, beberapa penonton sudah kecewa. Kemudian menggugat PSSI dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).

Ada empat penonton yang mengajukan gugatan ke PN Jakarta Pusat, yakni Paskalis Pieter, Simeon Petrus, Roy Rening, dan Kanisius Mbete. Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Hayono Isman mengatakan gugatan terhadap PSSI itu wajar. “Karena tidak sesuai dengan kejadian yang dapat mengganggu ketertiban umum untuk tampil dalam kegiatan olahraga,” kata Hayono di Jakarta Kompas1 Agustus 1997.

Menurut Sudaryatmo dalam bukunya Hukum dan Advokasi Konsumen (1999), Paskalis dan kawan-kawan merasa dirugikan. Mereka menuntut PSSI dan KONI membayar ganti rugi sebesar Rp. 1 miliar. Gugatan tersebut didaftarkan dengan nomor pendaftaran 289/Pdt.G/1997 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 28 Juli 1997.

Namun, tidak semua penonton setuju dengan gugatan tersebut. Seorang pembaca Kompasyang surat pembacanya diterbitkan dalam edisi 28 Agustus 1997 menyayangkan gugatan tersebut.

Ia mengaku menyaksikan pertandingan Bandung Raya vs Mitra Surabaya, dengan membeli tiket kelas II seharga Rp. 10.000. Saat itu, ia sedang duduk di tribun belakang sebelah kanan gawang Bandung Raya.

Ia merasa tidak terlalu dirugikan karena dihentikannya pertandingan Bandung Raya vs Mitra Surabaya karena masih bisa menyaksikan pertandingan kedua, antara PSM vs Persebaya pada malam harinya.

“Saya tidak yakin 35.000 penonton yang hadir bersedia diwakili oleh para penggugat. Saya salah satu yang tidak ingin diwakili,” tulisnya.

Infografis gas air mata.  Alinea.id/Muji Prayitno

Sidang digelar pada Oktober 1997. PSSI bahkan seolah cuci tangan dengan kejadian itu, mengingat kejadian gas air mata di luar dugaan dan kekuatan alias force majeure.

“Oleh karena itu, baik PSSI maupun KONI tidak dapat dimintai pertanggungjawaban,” kata kuasa hukum PSSI dan KONI dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (13/10/1997), seperti dikutip dari Kompas14 Oktober 1997.

Sudaryatmo dalam bukunya menyebutkan bahwa gugatan merupakan fenomena yang menarik. Menurutnya, kejadian tersebut menjadi pelajaran bagi PSSI untuk tidak gegabah dalam menggelar pertandingan sepak bola.

Sedangkan untuk penonton, tulis Sudaryatmo, gugatan tersebut merupakan bukti munculnya kesadaran di kalangan penonton sepak bola bahwa sebagai penonton mereka memiliki hak. Sudaryatmo juga menyatakan keputusan sepihak PSSI, tanpa melibatkan penonton, untuk melanjutkan pertandingan tanpa penonton merupakan bukti arogansi. Putusan tersebut, lanjut Sudaryatmo, secara tidak langsung telah menjatuhkan vonis penonton pada posisi yang salah.

“Saya tidak mau berspekulasi tentang hasil akhir gugatan,” tulis Sudaryatmo yang pernah bergabung dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

“Namun, selain kalah dan menang di pengadilan, kemenangan moral sebenarnya ada di pihak penggugat, berupa membuka kesadaran semua pihak bahwa ada masalah dalam dunia sepakbola di tanah air.”

Leave a Reply

Your email address will not be published.