Tekno  

Ingin Berhenti Menghitung Malam Itu…

Kalimat “Ya Allah, anakku tidak onok (meninggal)” membuat imajinasi merinding saat mengawali peristiwa duka di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Sabtu (1/10). Kemudian berita sedih berupa surat, foto, dan video yang mengungkapkan angka terus ada di timeline kami.

Berawal dari kabar dua korban meninggal, kemudian menjadi 15, lalu 20, 50, dan mencapai 125 nyawa hingga Minggu (2/10) malam WIB. Selain mayoritas pendukung, dua korban yang tewas adalah anggota polisi.

Sirine ambulan terus berbunyi dari kota Malang. Ratusan keluarga dan ibu menangisi anak-anak yang hilang. Beberapa dari mereka memiliki berita, sisanya masih mencari identitas yang belum menemukan kejelasan.

Sejak malam itu, doa semua orang sama: tidak ada lagi korban. Semua orang setuju untuk tidak ingin menghitung lagi. Karena semua orang berdoa agar tidak ada lagi kematian.

Kronologi dan Anomali Prosedur Keamanan

Pertandingan antara Arema FC dan Persebaya Surabaya merupakan salah satu pertemuan yang memiliki rivalitas besar dalam sepak bola Indonesia. Hal ini menarik minat yang tinggi dari semua penggemar sepak bola di Indonesia. Apalagi bagi suporter Arema yang biasa disapa Aremania sebagai tuan rumah. Sebanyak 42 tiket ludes terjual meski kapasitas Stadion Kanjuruhan hanya mampu menampung sekitar 38.000 penonton.

Berdasarkan dokumen yang diperoleh, pihak Arema dan Polres Malang telah mengajukan permintaan agar pertandingan sepak bola dimajukan menjadi pukul 15.30 WIB dari jadwal semula pada pukul 20.00 WIB. Namun, permohonan tersebut ditolak oleh PT LIB (Liga Indonesia Baru). Apakah ini karena kepentingan hak siar siaran langsung?

Yunus Nusi, Sekjen PSSI, menjelaskan alasannya karena pertandingan mungkin akan kondusif jika melihat absennya suporter rival Aremania, yakni Bonek, yang tidak datang langsung mendukung Persebaya di Stadion Kanjuruhan.

“Kita tahu polisi mengajukan agar dilakukan sore hari. Tapi oleh PT LIB dan Panpel, dilakukan diskusi dan ada kesepahaman untuk dilaksanakan pada malam hari. Tentunya dengan kesepakatan bersama, salah satunya adalah untuk tidak membawa suporter atau tamu lawan ke stadion, dan itu yang menjadi acuan dari Panpel dan PT LIB untukberpikir positif bahwa sulit ada rusuh dimana rusuh itu kalau tidak ada rivalitas suporter dan tidak ada supporter dari Persebaya yang datang ke Malang. Sehingga terjadi kesepahaman dan akhirnya dilakukan dengan saling pengertian,” kata Yunus dalam konferensi pers PSSI, Minggu (2/10) siang.

Awalnya pertandingan berjalan lancar. Skuad Persebaya tiba di stadion dengan selamat menggunakan kendaraan lapis baja. Tapi itu berbeda ketika pertandingan tensi tinggi berakhir.

Dari pantauan dan informasi yang dihimpun selama ini, sejumlah suporter Arema turun ke lapangan usai pertandingan berakhir dengan skor 3-2 untuk kemenangan Persebaya. Ada juga lemparan ke arah skuad Persebaya yang langsung kabur ke lorong stadion.

Sementara itu, rekaman video memperlihatkan dua Aremaniac turun ke lapangan untuk mendekati para pemain. Namun tak ada tendensi berlebihan di antara mereka meski beberapa suporter lain turun menghampiri para pemain.

Dalam suasana persepakbolaan Indonesia belakangan ini, suporter kerap turun ke lapangan untuk mendekati pemain untuk memberikan kritik dan motivasi. Tidak ada tindakan yang berlebihan. Aremania sendiri diketahui sering melakukan protes kepada tim atas penampilan buruknya dalam beberapa pertandingan terakhir.

Kembali ke pertandingan kemarin, beberapa suporter mulai dikejar aparat sambil memeluk Adilson Maringa, kiper Arema. Mereka diusir oleh aparat keamanan yang memprovokasi pendukung Arema lainnya. Kemudian polisi menembakkan gas air mata ke lapangan dan berdiri di Stadion Kanjuruhan.

https://twitter.com/akmalmarhali/status/1576264867954450432″>

Soal gas air mata yang digunakan aparat keamanan dalam pertandingan tersebut menjadi sebuah anomali. Aturan FIFA melarang penggunaan gas air mata untuk mengamankan pertandingan sepak bola. Peraturan tersebut melarang penggunaan gas air mata dalam pasal 19 Peraturan Keselamatan dan Keamanan Stadion FIFA.

Ada lima pedoman yang harus dipatuhi oleh keamanan pertandingan sepak bola. Khususnya pada pasal 19 b yang berbunyi “Tidak boleh menggunakan senjata api atau gas pengendalian massa”. Intinya, senjata api atau gas untuk mengendalikan massa (penggemar sepak bola) dilarang dibawa dan digunakan.


Penggunaan alat terlarang tersebut mengakibatkan korban tercekik. Beberapa juga terinjak-injak dan terlindas saat berusaha menyelamatkan diri karena panik. Seperti Tragedi Lima tahun 1964 dan Tragedi Accra tahun 2001 yang menelan banyak korban jiwa, keduanya disebabkan oleh tembakan gas air mata ke tribun penonton.

Irjen Pol Nico Afinta, Kapolda Jatim, sebenarnya menilai penembakan gas air mata sudah sesuai prosedur. “Kalau suporter patuh pada aturan, kejadian ini tidak akan terjadi,” katanya saat konferensi pers di Mapolres Malang, Minggu (2/10).

Padahal, jika melihat fanatisme sepakbola, apalagi di pertandingan bergengsi seperti Arema melawan Persebaya, tidak mungkin bisa dibendung fanatisme kecuali dalam batas kesadaran manusia itu sendiri. Yang perlu dilakukan adalah perencanaan dan persiapan yang matang terkait mitigasi tanpa harus membahayakan nyawa orang lain.

Menyalahkan suporter namun disertai dengan langkah pengamanan yang memiliki aturan jelas di FIFA, yakni penggunaan gas air mata, tentu tidak bisa dibenarkan. Kita tidak bisa hanya menyalahkan sebuah euforia, apalagi jika kita tahu bahwa pertandingan sepak bola adalah titik temu puluhan ribu individu dengan berbagai bentuk emosi.

Kalaupun aparat keamanan tidak mengetahui secara utuh dan menyeluruh tentang aturan ini, lalu mengapa PSSI dan Panitia Pertandingan tidak mensosialisasikan secara kuat? Sekali lagi, kejadian seperti ini seharusnya dihindari.

Toh, berbagai pertandingan sepak bola di Eropa juga memiliki banyak insiden invasi lapangan (pendukung masuk ke lapangan), namun hal ini dapat diatasi dengan prosedur keamanan yang aman.

Bukan Sekedar Sepak Bola

Ini bukan lagi sekedar duka dan kesusahan dalam sepak bola, tapi sudah menjadi tragedi bagi bangsa Indonesia. Artinya, tidak hanya semua pemangku kepentingan sepakbola yang harus menyelesaikan masalah ini. Secara khusus, tidak hanya federasi dan regulator liga, tetapi negara harus bisa ambil bagian dalam membenahinya.

Di tengah pemberitaan, melalui situs resminya PSSI mengumumkan penghentian sementara Liga 1 2022/23. Apakah pemberhentian ini cukup? Tampaknya masih belum jika tidak ada jaminan evaluasi total dengan penyelidikan menyeluruh atas insiden tersebut.

Wacana hukuman tidak termasuk keputusan melarang Arema menjadi tuan rumah hingga akhir musim. Ini mungkin sedikit setuju tapi juga perlu ada pihak yang benar-benar bertanggung jawab atas kejadian memilukan ini.

Di sisi lain, penyidikan atas kejadian ini harus dipimpin oleh otoritas tertinggi di negeri ini agar lebih jelas evaluasi, sanksi dan pertanggungjawabannya. Ya, selain federasi, Kemenpora, KONI dan kepolisian harus bisa aktif mencari benang merah. Karena penyelidikan independen seperti Laporan Taylor atas tragedi Hillsborough dipimpin oleh cabang yudisial Inggris. Karena negara mutlak harus hadir untuk menyelesaikan peristiwa menyedihkan ini.

Jika tidak mengambil langkah strategis, berarti tidak akan ada perubahan yang signifikan. Penghentian sementara liga hanya akan menjadi refleksi biasa hingga akhirnya perasaan duka dan keinginan untuk berubah menjadi usang.

Apalagi, Timnas Indonesia berada di jalur positif dengan lolos ke Piala Asia 2023. Mereka juga optimis menghadapi Piala AFF 2022 dengan kemenangan di dua laga uji coba melawan Curacao.

Ini belum ditambah dengan perayaan Piala Dunia dan Piala Asia U-20 yang akan digelar tahun depan. Soal Piala Dunia, Indonesia menjadi tuan rumah dan wilayah Jawa Timur menjadi salah satu lokasi yang dipilih sebagai penyelenggara.

Jika melihat apa yang terjadi dan jumlah korban bertambah lagi (semoga tidak) seolah-olah INDONESIA TIDAK LAYAK MENJADI RUMAH PIALA DUNIA. Kejadian ini tidak bisa diabaikan dan diabaikan. Harus dipantau terus menerus dan tidak menjadi wacana yang kemudian hilang dan terus berulang.

Ya Tuhan, mengapa penggemar sepak bola selalu menjadi korban? Sebelum tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan, sudah banyak kasus pendukung meninggal di Indonesia. Aku lelah menghitung.

Jika Anda mentolerir ini, maka anak-anak Anda akan menjadi yang berikutnya

Leave a Reply

Your email address will not be published.