

Oleh: Ace Somantri *)
KLIKMU.CO
Turut berduka cita yang sedalam-dalamnya kepada masyarakat Indonesia, khususnya keluarga para korban yang meninggal dunia. Secara kasat mata, mereka yang menjadi korban tidak melakukan kesalahan apa pun. Hanya karena situasi dan kondisi yang kacau balau, semua menanggung akibatnya sehingga bahkan yang tidak bersalah pun terkena getahnya.
Kejadian ini tidak hanya menghancurkan harkat dan martabat bangsa, tetapi juga menghancurkan kredibilitas bangsa dan negara di mata FIFA sebagai federasi sepakbola dunia. Duka rakyat menjadi duka negara, ternyata dari fakta dan data tragedi sepak bola di kompetisi-kompetisi dunia, Indonesia telah menelan korban terbanyak di dunia. Wajar jika FIFA memberikan sanksi tegas kepada PSSI dan klub yang melanggarnya. Apalagi klub yang terlibat pelanggaran langsung, tidak hanya dibekukan tapi sangat mungkin dibubarkan dalam waktu yang tidak ditentukan.

Pelajaran dan pelajaran yang bisa dipetik, dalam sebuah kompetisi, baik di dunia olahraga maupun dunia kontestasi, yang serupa dengan suksesi di berbagai institusi. Sportifitas penting dalam berbagai pertandingan. Siapapun yang terlibat ketika saling berhadapan berusaha memperebutkan posisi, para pihak yang terlibat harus menyadari dengan sepenuh hati bahwa dalam suksesi apapun harus mengedepankan sportivitas yang berarti keadilan dan kesopanan.
Jangankan dunia sepakbola, dalam suksesi dunia politik perlu mengedepankan sportivitas politik yang adil dan beradab, dengan kata lain siap menang dan siap kalah. Yang menang tidak menang, yang kalah jangan marah, toh semuanya menang secara sportif.
Meski begitu, pihak-pihak yang terlibat dalam posisi yang memiliki peran penting dalam lingkaran kelembagaan mana pun tidak boleh menggunakan kekuasaan untuk kepentingan sementara hanya karena suka dan tidak suka seperti dewa yang mengikuti kehendaknya. Peristiwa memilukan kanjuruhan mencerminkan siapa pun atau lembaga apa pun dalam suatu komunitas, termasuk organisasi besar Muhammadiyah. Jika diibaratkan pemain adalah pekerja dan pegawai, penonton adalah anggota perkumpulan, pejabat adalah dewan dan lembaga, wasit dan penyelenggara pertandingan adalah pimpinan perkumpulan. Mereka semua harus benar-benar menjalankan aturan, apapun posisi mereka benar-benar mengedepankan sportivitas.
Banyak hal mengenai permasalahan yang muncul dalam organisasi Muhammadiyah, baik itu amal usaha di bawah koordinasi cabang, cabang, daerah, daerah hingga pusat. Hal ini wajar, karena merupakan bagian dari dinamika organisasi. Namun, marilah kita semua menyadari bahwa dalam organisasi besar seperti Muhammadiyah, kaderisasi dan kaderisasi memang harus berjalan sebagaimana mestinya.
Jangan heran ada pepatah clotehan dalam bahasa sunda, anu nabeuh-nabeuh anu muntah. Anu seubeuh-seubeuh, anu lapar-lapar (yang kenyang tetap kenyang, yang lapar tetap lapar). Fenomena ini terindikasi terjadi di beberapa kalangan organisasi di berbagai tingkatan. Padahal, zakat pada hakikatnya adalah gerakan dakwah dalam rangka peningkatan kesejahteraan warga dan umat agar nilai-nilai tauhid tidak tergerus hanya karena kemiskinan dan kemiskinan.
Dinamika kepemimpinan dan penyegaran harus terjadi, kompetensi dan integritas kepemimpinan harus menjadi kriteria utama. Menjalankan organisasi bukan untuk menambah materi, apalagi hanya untuk meningkatkan gengsi. Hindari mengebiri satu sama lain karena orang ini dan itu dianggap berbahaya, meskipun ia dapat melakukan banyak cela dan dosa.
Kesadaran untuk memberikan kesempatan kepada orang lain agar merasa dianggap lebih dari cukup untuk mengabdi dalam struktur kepemimpinan merupakan sikap ksatria dari kader organisasi. Karakter mulia tidak selalu terlihat anggun, polos, dan memiliki kesan berwibawa, sedangkan dari tangan kekuasaannya banyak tindakan dan kebijakan yang melanggar norma, kelembagaan dan terkadang melanggar aturan organisasi.
Suara kebaikan dan kebenaran seolah-olah milik dewa-dewa terkemuka, ketika tidak sesuai aturan, dikatakan luar biasa atau pengecualian untuk suatu kasus meskipun sangat tunduk pada subjektivitas. Apapun masalahnya, hal-hal yang muncul dianggap berpotensi konflik horizontal sehingga ketakutan merusak amal usaha selalu menjadi alasan, meskipun analisis dan penilaian terkadang sangat subjektif.
Akibatnya, keputusan yang diambil tidak membaik, tetapi justru memperpanjang keretakan di antara para pihak. Mereka tidak merasakan gesekan langsung karena berada jauh dari daerah tersebut, sedangkan para pihak dianggap saling berhadapan terus menerus dalam satu daerah. Kebijaksanaan dan kebijaksanaan selalu diminta oleh para pihak, namun di sisi lain terkadang kebijakan dan keputusan tidak bijaksana. Wallahu’ alam.
Bandung, Oktober 2022
