Perlakuan nasional sebagai upaya meminta perlindungan bagi bangsa dan negara
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Penangkapan Kapolda Jatim Teddy Minahasa atas dugaan menjual beberapa barang bukti sitaan kasus narkoba membuat banyak pihak tercengang dan prihatin.
Publik seolah disuguhi rangkaian peristiwa kelam yang tak ada habisnya. Sebab, sebelumnya juga ada kasus pembunuhan polisi yang mengatasnamakan mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo.
Selain itu, Tragedi Kanjuruhan yang menjadi sorotan aparat keamanan akibat penggunaan gas air mata saat mengamankan pertandingan sepak bola ditengarai menjadi penyebab tewasnya ratusan suporter Arema.
Menyikapi rentetan peristiwa kelam tersebut, Sekretariat Kerjasama Indonesia (SKI) menghimbau kepada semua pihak untuk tidak sibuk mencari kambing hitam atau saling menyalahkan antar anak bangsa.
Namun, penyelesaian hukum atas kasus-kasus tersebut tetap perlu dilakukan sesegera mungkin sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
“Ada baiknya rangkaian peristiwa kelam tersebut menjadi batu loncatan bagi bangsa untuk melakukan refleksi sedalam-dalamnya, sedalam-dalamnya,” kata Sekjen SKI, Raharja Waluya Jati, Minggu (16/10/2022) dalam keterangan tertulis.
Menurut Jati, rentetan peristiwa kelam yang melibatkan nama-nama besar dari institusi penting itu melampaui dimensi hukum, ekonomi, dan politik. Padahal, sangat mungkin inti permasalahannya terletak pada dimensi budaya.
“Sudah saatnya kita sebagai bangsa melihat kembali pilihan strategi budaya. Karena seluruh way of life yang kita bentuk dan jalankan mencerminkan budaya bangsa,” lanjutnya.
SKI sebagai organisasi kemasyarakatan, kata Jati, memaknai rangkaian peristiwa kelam tersebut sebagai peringatan dari Tuhan Yang Maha Esa, agar bangsa ini mawas diri.
Jati menjelaskan, introspeksi berarti mencermati segala perilaku atau tindakan bangsa. Akhir dari tindakan introspeksi adalah merumuskan kembali eksistensi bangsa Indonesia.
“Introspeksi, selalu menjaga nilai-nilai kepatutan dan keteladanan perilaku, merupakan sikap dan tindakan yang dibutuhkan bangsa di masa depan,” ujarnya.
SKI, kata Jati, berharap kejadian yang menimpa nama-nama besar pimpinan lembaga tidak terulang di masa mendatang. Pelajaran yang bisa dipetik dari rangkaian peristiwa kelam ini juga diharapkan bermanfaat untuk menata kehidupan bersama sebagai sebuah bangsa.
“Jika merujuk pada tradisi, setelah terjadinya momen kelam tersebut, mungkin masyarakat Indonesia perlu ‘menjaga’ diri mereka sendiri,” kata Jati.
Usulan ‘Ruwatan’ tersebut menjadi semacam prosesi untuk membuang kenangan buruk secara kolektif agar masyarakat Indonesia bisa lebih fokus menghadapi berbagai tantangan di masa depan.
Apalagi tahun 2023 diprediksi akan menjadi tahun yang sulit karena dunia sedang memasuki masa resesi.
“Dalam menghadapi situasi krisis yang serius, kita harus mampu menyelesaikan masalah masa lalu. Selain itu, kita juga harus bersatu dan bahu membahu sehingga energi untuk mengatasi masalah akan berlipat ganda,” ujarnya.