Kehidupan manusia terdiri dari kebutuhan dan kebutuhan masing-masing. Normalitas makhluk hidup pada umumnya, manusia dituntut untuk memenuhi kebutuhannya agar dapat bertahan hidup. Dilihat dari jenisnya, kebutuhan manusia adalah batin, seperti kebutuhan akan spiritualitas keagamaan, dan ada pula yang bersifat spiritual secara lahiriah yang bersifat materi.
Jenis kebutuhan yang kedua sangat luas cakupannya, dan dalam prakteknya memerlukan keterlibatan banyak pihak dan sumber produksi. Seorang sarjana ekonomi pada 1950-an, MM Hadiprabowo (1951: 8), mengartikulasikan pola-pola seperti kegiatan ekonomi atau ekonomi. Kegiatan ekonomi adalah cara-cara tertentu yang mencari hubungan antara peristiwa-peristiwa kehidupan manusia dalam upaya mewujudkan kesejahteraan hidup.
Kegiatan ekonomi berlaku dalam setiap struktur sosial kehidupan manusia. Hal ini berlaku pada tingkat individu, keluarga, kelompok masyarakat, pemerintah daerah/kota, provinsi dan pemerintah pusat. Padahal, kegiatan ekonomi merupakan sektor yang sangat penting diselenggarakan di tingkat internasional. Dalam praktik politik internasional, suatu negara membangun hubungan kerjasama dengan negara lain untuk menjaga, antara lain, stabilitas ekonomi negara dan rakyatnya.
Sekarang seluruh dunia sibuk dengan urusan ekonomi. Sektor ekonomi diyakini akan memperkuat stabilitas dan integritas negara masing-masing. Jika ekonomi kuat, rakyat senang, negara akan maju dan berkembang di bidang industri, ilmu pengetahuan, teknologi, dan militer. Negara dengan ekonomi yang kuat bahkan cenderung mendominasi negara lain. Banyak yang mencatat dalam sejarah betapa persaingan ekonomi antar bangsa sangat kompetitif. Maka, sangat wajar jika perekonomian menjadi sektor terpenting bagi semua negara dan bangsa di dunia.
Kegiatan ekonomi ibarat urat nadi kehidupan manusia yaitu secara lahiriah. Tanpa ekonomi, kehidupan manusia—dalam berbagai tingkatan—akan mengalami stagnasi. Roda kehidupan tidak akan berjalan sempurna karena tidak adanya dukungan material. Selama ada kehidupan, ada kebutuhan manusia. Dan selama ada kebutuhan manusia, di situlah kegiatan ekonomi tetap berjalan. Ekonomi adalah semacam fitrah bagi kehidupan manusia di muka bumi.
Saat membaca Al-Qur’an adz-Dzariyat ayat 56, secara praktis orientasi hidup kita mengarah pada penyucian ibadah. Seorang Muslim yang baik, ketika ditanya tentang tujuan sebenarnya penciptaan mereka di bumi, jawabannya tentu saja untuk beribadah kepada Allah SWT. Hal ini karena makna ayat tersebut sangat menegaskan bahwa Dia tidak akan menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah merupakan amalan spiritual seorang muslim yang bersifat fitrah.
Menjadikan ibadah sebagai seperangkat kewajiban merupakan suatu keharusan bagi seorang muslim. Tapi menghabiskan sebagian dari hidup semata-mata untuk kepentingan ibadah mahdhah (ritual), adalah kesalahan besar. Sebab, ada dimensi lain yang tak kalah penting dari ibadah ritual, yakni tuntutan duniawi yang mengharuskan manusia berusaha mencari sumber penghidupan sebagai makhluk hidup agar dapat bertahan hidup. Segala bentuk usaha dan pekerjaan duniawi (dunia profan) akan bernilai ibadah jika disertai dengan niat dan tujuan yang baik, meskipun secara normatif tidak termasuk ibadah. mahdhah.
Dalam hierarki hukum Islam, klasifikasi di atas berada dalam koridor muamalat. Dalam kaitan ini, kegiatan ekonomi termasuk dalam subsistem muamalat yang urgensinya disebutkan dalam dalil-dalil normatif hukum Islam. Ekonomi identik dengan berusaha dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan. Identifikasi ini sejalan dengan definisi ilmu ekonomi yang dikemukakan oleh M. Umer Chapra (2001:261), bahwa ekonomi adalah segala usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup guna mencapai suatu tingkat kemakmuran. Dengan demikian, sebenarnya ilmu ekonomi atau nasehat ekonomi mendapat perhatian yang besar dalam doktrin ajaran Islam, dan akan bernilai ibadah jika dilakukan dengan tujuan yang baik dan benar.
Islam mendorong manusia untuk berusaha dan bekerja. Islam memandang bahwa berusaha dan bekerja tidak hanya diperbolehkan, tetapi juga menjadi bagian integral dari hukum Islam yang tidak dapat ditolak. Ada sejumlah nash Al-Qur’an dan hadits yang menunjukkan betapa pentingnya suatu usaha atau pekerjaan, antara lain dalam surat al-Jumu’ah ayat 10 Allah SWT berfirman: “Jika shalat telah dilaksanakan, maka berhamburanlah di bumi dan carilah karunia Allah”.
Ajakan berusaha dan bekerja juga mendapatkan legitimasinya dalam salah satu hadits Nabi Muhammad SAW yang artinya kurang lebih sebagai berikut: “Sesungguhnya jika salah seorang dari kalian mengambil seutas tali, kemudian pergi ke gunung dan kembali membawa seikat kayu bakar dan menjualnya, maka dengan hasil itu Allah menyediakan kebutuhan kalian, itu lebih baik daripada meminta kepada orang lain, apakah mereka memberi atau tidak. tidak” (Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mugirah bin Bardizbah al-Bukhari, 1987: 535).
Namun, anjuran untuk mencoba dan berkarya di sejumlah teks tentu bukan semata-mata untuk memperkaya diri sendiri. Islam mengajarkan bahwa kekayaan memiliki fungsi sosial sehingga perlu digunakan secara adil dan merata. Islam dengan tegas melarang tindakan mengumpulkan harta dengan maksud menimbun (QS. 104: 2), mencari kekayaan dengan cara yang tidak semestinya (Qur’an 2: 188), dan memerintahkan untuk menafkahkan harta dengan baik (Qur’an 2: 261).
Sebagai konsekuensi dari stabilitas iman, umat Islam berkewajiban untuk membuat ekonomi dengan mengacu pada pedoman syariat. Ekonomi Islam membawa berkah, persatuan, keadilan, dan bantuan bagi orang miskin dan orang yang membutuhkan. Inilah “Ekonomi Syariah”, sebuah konsep ekonomi yang dibangun di atas semangat ketuhanan dan kemanusiaan universal, yang membawa manfaat bagi diri sendiri, orang lain, dan lingkungan di dunia dan di akhirat. Ekonomi Islam ingin mewujudkan kemaslahatan bagi semua (al-mashlahatu al-‘ammah).