Tekno  

Kolaborasi Kuat Semua Pihak Penting dalam Pengurangan Risiko Bencana

Kolaborasi Kuat Semua Pihak Penting dalam Pengurangan Risiko Bencana
Ilustrasi. Dermaga

Jakarta (Lamppost.co) — Kolaborasi yang kuat antara Pemerintah Pusat dan Daerah, masyarakat, dan instansi terkait sangat diperlukan untuk mengedepankan kearifan lokal dalam kebijakan penanggulangan bencana dalam rangka pengurangan risiko bencana.

“Pengurangan risiko bencana dengan memanfaatkan kearifan lokal dapat dilakukan dengan dukungan pemahaman yang mendalam dari para pemangku kepentingan, masyarakat dan sejumlah institusi, terkait bencana dan berbagai dampaknya,” kata Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat dalam tulisannya. sambutan pada diskusi online bertema Kearifan lokal dalam pembangunan berkelanjutan berbasis pengurangan risiko bencana (PRB) yang diselenggarakan oleh Forum Diskusi 12 Denpasar, Rabu, 12 Oktober 2022.

Baca juga: Skema Antisipasi dan Penanganan Penting untuk Mencegah Bencana

Diskusi yang dimoderatori oleh Anggiasari Puji Aryatie (ahli Wakil Ketua MPR Koordinator Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah) menghadirkan Sri Wulan, SE (Anggota Komisi VIII DPR), Ratna Susianawati (Deputi Perlindungan Hak Perempuan PPPA Kementerian), Dr. Ir. Agus Wibowo, M.Si. (Direktur Penyusunan Strategi Penanggulangan Bencana BNPB), Dr. Doni Yusri (Kepala Pusat Kajian Bencana, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Institut Pertanian Bogor/LPPM IPB), dan Dr. Djati Mardiatno, M.Si. (Kepala Pusat Kajian Bencana Alam/PSBA Universitas Gadjah Mada) sebagai nara sumber.

Turut hadir Dicky Chresthover Pelupessy, Ph.D (wakil ketua Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia/MPBI) dan Trimalaningrum (direktur Yayasan Skala Indonesia) sebagai responden.

Menurut Lestari, saat ini ada sejumlah isu penting terkait pengurangan risiko bencana (PRB), antara lain perencanaan, logistik, kompetensi masyarakat setempat, dan yang terpenting adalah menciptakan budaya kesiapsiagaan.

Rerie, sapaan akrab Lestari, meyakini bahwa pemanfaatan kearifan lokal, kebijakan publik yang memadai, dan gaya hidup masyarakat yang ramah lingkungan dapat menjadi penentu dalam mengurangi risiko bencana. “Mengurangi risiko bencana berarti mendukung kemajuan dalam upaya penanggulangan bencana,” kata anggota Majelis Tinggi Partai NasDem.

Anggota Komisi X DPR RI dari Pilkada II Jawa Tengah ini menegaskan, untuk mewujudkan hal itu, diperlukan komitmen yang kuat dari setiap anak bangsa.

Direktur Pengembangan Strategi Penanggulangan Bencana BNPB, Agus Wibowo, mengatakan Indonesia merupakan daerah rawan bencana yang berisiko tinggi. Berdasarkan pengalaman, bencana merupakan kejadian yang berulang sehingga penting bagi masyarakat untuk memahami sejarah suatu daerah.

“Penyebab terjadinya bencana karena adanya potensi bahaya dan kerawanan di suatu daerah. Kerentanan biasanya muncul karena infrastruktur yang ada tidak memadai untuk menghadapi potensi bencana,” katanya.

Dia mencontohkan daerah rawan banjir, namun masih banyak pemukiman di bantaran sungai atau di daerah rawan gempa, namun rumahnya tidak didesain tahan gempa.

Agus mengakui, pola kepemimpinan di setiap daerah sangat menentukan keberhasilan menghadapi ancaman bencana. Komitmen politik setiap pemimpin daerah sangat penting dalam upaya mengatasinya.

“Namun, sebenarnya lebih dari 96% masyarakat berperan sangat penting dalam upaya penanggulangan bencana. Oleh karena itu, perlu diupayakan pemberdayaan masyarakat agar tangguh dalam menghadapi bencana. Pemahaman akan ancaman bencana di setiap wilayah akan mengurangi potensi kerawanan suatu wilayah untuk mendorong pengurangan risiko bencana,” ujarnya.

Anggota Komisi VIII DPR Sri Wulan mengungkapkan, data BNPB menyebutkan, per 1 Januari hingga 27 Maret 2022, terdapat 1.081 bencana yang sebagian besar terjadi di Pulau Jawa seperti banjir, cuaca ekstrem, dan tanah longsor. Bencana alam tersebut berdampak pada 1,6 juta orang.

“Risiko bencana yang tinggi mendorong upaya pengurangan risiko bencana yang harus dilihat sebagai upaya investasi untuk mencegah hilangnya masa depan kita,” katanya.

Menurutnya, kearifan lokal dalam pencegahan bencana patut diapresiasi. Sebab, sebenarnya kita bisa melakukan upaya pencegahan bencana dengan cara atau budaya yang sudah dipahami secara turun temurun.

Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA, Ratna Susianawati menilai tingginya risiko bencana di Indonesia juga menciptakan kerentanan baru bagi perempuan dan anak yang dalam kondisi normal sudah berhadapan dengan kerentanan dalam kehidupan sehari-hari. “Risiko terbesar dari bencana masih dialami oleh perempuan dan anak-anak. Untuk itu, perlu didorong upaya bagaimana perempuan mampu diberdayakan dalam kondisi bencana sehingga bisa juga menjadi relawan,” ujarnya.

Menurut Ratna, semua pihak harus membuka ruang bagi pemberdayaan perempuan pascabencana. Selain itu, ketersediaan data terpilah sangat penting dalam pemulihan wilayah pascabencana.

Kepala Pusat Kajian Kebencanaan LPPM IPB, Doni Yusri meyakini dengan keragaman yang dimiliki negeri ini harus banyak kearifan lokal untuk mencegah bencana. Namun kendala saat ini adalah masyarakat lokal seringkali terpinggirkan.

“Jadi seringkali kita hanya mengutamakan pemanfaatan teknologi sebagai sumber informasi dalam mitigasi bencana,” ujarnya.

Doni meyakini pemangku kepentingan harus mampu memadukan kemampuan perangkat berbasis teknologi dan kearifan lokal untuk menghadirkan solusi penanggulangan bencana di tanah air.

Ketua PSBA Universitas Gadjah Mada, Djati Mardiatno, berpendapat bahwa kearifan lokal adalah pengetahuan yang diperoleh sekelompok masyarakat yang diturunkan secara turun-temurun dan pengetahuan tersebut sangat empiris. “Karena pengetahuan ini bersifat lokal, tidak bisa diterapkan di tempat lain. Jadi ada keterkaitan antara kearifan lokal dan budaya,” ujarnya.

Ia menilai dengan sejumlah syarat, peran serta masyarakat sangat penting dalam upaya pengurangan risiko bencana. Sedangkan tugas akademisi adalah menjelaskan bahwa kearifan lokal itu logis sehingga bisa diterapkan dalam proses penanggulangan bencana.

Wakil Ketua MPBI Dicky Chresthover Pelupessy menilai kearifan lokal harus dioptimalkan dalam menyikapi bencana. Sebab, bagaimanapun, yang pertama merespons bencana adalah masyarakat lokal di daerah yang terkena bencana.

“Oleh karena itu, posisi kearifan lokal dalam penanggulangan bencana diperjelas. Setiap potensi yang dimiliki masyarakat harus dimaksimalkan dalam sebuah sistem pemerintahan,” ujarnya.

Direktur Yayasan Skala Indonesia, Trimalaningrum, menilai masyarakat lokal seperti ilmuwan sehingga dengan ilmunya mampu melindungi mereka dari ancaman bencana.

Mengenai kerentanan perempuan dalam setiap bencana, Trimalaningrum berpendapat, sebenarnya banyak aturan yang mampu melindungi perempuan saat terjadi bencana. Namun, aturan yang ada seringkali diabaikan.

Di akhir diskusi, wartawan senior Saur Hutabarat mempertanyakan kemungkinan kearifan lokal diangkat sebagai kearifan nasional sehingga dapat mengisi kesenjangan dalam proses mitigasi bencana secara umum di tanah air.

Di sisi lain, Saur juga mempertanyakan jika daerah yang dilalui lempeng tektonik dan lempeng gempa sudah teridentifikasi, mengapa tidak direlokasi lebih awal sehingga tidak perlu merehabilitasi daerah rawan bencana.

Muharram Chandra Lugina

Leave a Reply

Your email address will not be published.