KontraS menyayangkan laporan investigasi yang disiapkan TGIPF atas tragedi Kanjuruhan tidak memberikan kesimpulan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM dalam peristiwa tersebut.
KontraS menyebut ada dugaan kejahatan sistematis yang dilakukan aparat keamanan dalam menangani situasi di Stadion Kanjuruhan, Malang, yang mengakibatkan 133 orang tewas.
“Mereka hanya ingin menonton sepak bola dan tidak pernah ada konteks stadion bisa ditembak dengan gas air mata. Jadi kalau kejadian sebesar ini bukan merupakan pelanggaran HAM, itu tidak masuk akal,” kata Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti saat diskusi “Selidiki Kanjuruhan Lengkap” pada Selasa (18/10) malam.
Fatia menambahkan, TGIPF juga tidak tegas dalam memberikan poin-poin tekanan sebagaimana terlihat dari rekomendasi yang ditujukan kepada Polri dan TNI. Misalnya, dalam rekomendasi yang ditujukan kepada Polri, ia menilai TGIPF seolah menutup mata terhadap tanggung jawab hukum yang dilakukan oleh atasan Polri dalam penggunaan kekerasan. Pasalnya, dalam laporan tersebut disebutkan ada dugaan penembakan gas air mata yang dilakukan di luar komando.
Fatia juga menyoroti dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Karena TNI tidak memiliki tugas pengamanan pertandingan olahraga dan pengerahan tentara menjadi kewenangan presiden dengan persetujuan DPR. Namun keputusan Pangdam V/Brawijaya untuk mengerahkan prajuritnya tidak dijadikan bahan evaluasi lebih lanjut.
Selain itu, KontraS juga menyoroti dugaan obstruksi keadilan (upaya menghalangi proses hukum) yang diduga dilakukan oleh polisi. Hal ini terlihat dari informasi yang diterima TGIPF yang menyatakan bahwa CCTV di area stadion dilarang untuk diunduh dan diduga ada upaya dari pihak kepolisian untuk mengganti footage yang ada dengan footage yang baru. Namun, TGIPF tidak menjadikan hal ini untuk diteliti lebih lanjut.
“Dan juga karena autopsinya lambat, bisa jadi semacam kecurigaan barang bukti atau barang bukti yang hilang. Kalau tidak diotopsi dalam waktu lama bisa mengakibatkan kondisi jenazah tidak terdeteksi lagi,” tambah Fatia. .
Sebelumnya, TGIPF telah menyelesaikan laporan investigasi terkait insiden Kanjuruhan. Laporan tersebut memberikan sejumlah rekomendasi kepada berbagai pihak yang terlibat dalam kejadian ini, antara lain PSSI, PT Liga Indonesia Baru, Polri, dan TNI.
Beberapa poin rekomendasi tersebut adalah merekomendasikan Polri untuk menindaklanjuti atau mengusut pejabat Polri yang menandatangani surat rekomendasi izin keramaian dan penyidikan bagi petugas yang melakukan tindakan berlebihan. Namun, TGIPF tidak secara tegas menyebut dugaan pelanggaran HAM dalam tragedi tersebut.
Sementara itu, akademisi Rhenald Kasali yang juga anggota TGIPF menyoroti pihak-pihak yang terlibat dalam kejadian ini yang berlindung pada aturannya masing-masing. Ia khawatir tidak akan ada perubahan signifikan jika sikap ini tidak diubah. Selain itu, ia juga mempertanyakan masih ada upaya pencegahan penyelesaian kasus oleh sejumlah pihak, seperti menakut-nakuti keluarga korban.
“Ada banyak hal dan aktor yang secara tidak langsung mengakibatkan kematian. Jadi bukan hanya yang langsung, tetapi juga yang tidak langsung yang bertanggung jawab.”
“Polisi sedang rapat dan sebaiknya tidak pakai gas air mata. Tapi kenapa masih pakai, apakah ada konspirasi atau apa. Kami tidak tahu, jadi polisi harus merekonstruksinya,” kata Rhenald.
Untuk PSSI, Rhenald menjelaskan, pemerintah secara normatif tidak bisa mengintervensi organisasi olahraga. Namun secara moral, dalam rekomendasi TGIPF, sudah sepatutnya Ketua Umum PSSI beserta jajarannya mengundurkan diri sebagai tanggung jawab moral bagi para korban. Rekor terbaru tim tersebut adalah 132 orang meninggal dunia, 96 orang luka berat, dan 484 orang luka sedang atau ringan.
Lebih lanjut, Rhenald juga menilai organisasi sepak bola internasional (FIFA) juga perlu dimintai pertanggungjawaban. Karena sepanjang sejarah pertandingan sepak bola di Indonesia, kata dia, ada 78 orang yang meninggal sejak tahun 1990 sebelum tragedi ini.
“Jadi kalau terus dibungkam, apakah ini jaminan keselamatan ke depan, kalau tidak ada yang bertanggungjawab,” imbuhnya.
Di sisi lain, Presiden Joko Widodo bertemu dengan Presiden FIFA Gianni Infantino di Jakarta pada Selasa (18/10) di mana pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa FIFA akan membantu mentransformasi sepak bola Indonesia. Namun, Jokowi mengatakan rekomendasi dari TGIPF untuk tragedi Kanjuruhan tidak dibahas dalam pertemuan tersebut. [sm/rs]