Jakarta: Gangguan kesehatan jiwa saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan yang menjadi perhatian besar di seluruh dunia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan menyatakan bahwa pandemi Covid-19 telah memperburuk kondisi kesehatan mental dunia dan menciptakan krisis global untuk kesehatan mental jangka pendek dan jangka panjang.
Di Indonesia sendiri, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan lebih dari 19 juta orang berusia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental dan emosional, dan lebih dari 12 juta orang berusia di atas 15 tahun mengalami depresi.
Dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang jatuh pada 10 Oktober, Populix melakukan survei untuk mengetahui perkembangan masalah kesehatan jiwa di era transisi endemis saat ini.
Apa pendapat Anda tentang artikel ini?
Survei yang dilakukan terhadap 1.005 pria dan wanita berusia 18 hingga 54 tahun di Indonesia ini terangkum dalam laporan “Indonesia’s Mental Health State and Access to Medical Assistance”.
“Survei kami menunjukkan bahwa 52 persen masyarakat Indonesia, khususnya perempuan berusia 18-24 tahun, sadar bahwa mereka memiliki gejala gangguan kesehatan mental, baik ringan maupun berat. Mayoritas responden juga menyadari bahwa mereka telah mengalami gejala tersebut dalam 6 bulan terakhir,” kata Eileen Kamtawijoyo, Co-Founder dan COO Populix.
Hasil survei menemukan bahwa perubahan suasana hati yang cepat merupakan gejala yang paling sering dialami oleh 57 persen responden dalam 6 bulan terakhir, diikuti dengan perubahan kualitas tidur atau nafsu makan (56 persen), kelelahan yang signifikan, penurunan energi (42 persen), rasa takut yang berlebihan. atau kecemasan (40 persen).
Penyebab lainnya adalah perasaan bingung, pelupa, sering marah, mudah tersinggung, cemas, kesal, khawatir, dan takut yang tidak wajar (37 persen), kehilangan kemampuan untuk berkonsentrasi (35 persen), menarik diri dari lingkaran sosial (30 persen), dan ketidakmampuan untuk mengatasi. dengan stres atau masalah sehari-hari (26 persen).
Beberapa responden juga mengalami gejala yang lebih parah seperti mengalami rasa sakit yang tidak dapat dijelaskan (13 persen), kemarahan yang berlebihan dan rentan terhadap kekerasan (10 persen), berteriak atau berkelahi dengan keluarga dan teman (9 persen), dan ingin melukai diri sendiri (9 persen), dan percobaan bunuh diri (6 persen).
Dari berbagai gejala gangguan kesehatan jiwa, survei menunjukkan beberapa responden mengalami gejala tersebut setidaknya 2 hingga 3 kali seminggu (42 persen). Bahkan, 16 persen responden mengaku mengalami gejala tersebut setiap hari.
Masalah keuangan (59 persen) dan perasaan kesepian (46 persen) adalah faktor utama yang memicu gejala gangguan kesehatan mental.
Selain itu, ada juga beberapa faktor lain seperti tekanan pekerjaan (37 persen), trauma masa lalu (28 persen), tekanan dari pasangan (17 persen), tinggal di lingkungan yang buruk (13 persen), dan mengalami diskriminasi dan stigma ( 10 persen). persen).
Untuk mengurangi gejala gangguan kesehatan jiwa yang mereka rasakan, 73 persen orang mengatakan akan mendekatkan diri kepada Tuhan, menjaga tidur dan istirahat yang cukup (55 persen), berekreasi (46 persen), melakukan aktivitas fisik agar tetap aktif (36 persen) , bercerita kepada orang lain. berteman (34 persen), menjaga hubungan baik dengan orang lain (32 persen), membantu orang lain dengan tulus (27 persen), dan melakukan meditasi (19 persen).
Di tengah meningkatnya akses layanan kesehatan jiwa dalam beberapa tahun terakhir, survei menunjukkan bahwa 69 persen orang yang mengalami gejala gangguan kesehatan jiwa tidak pernah menggunakan layanan tersebut karena berbagai alasan.
Beberapa alasan utama yang mereka kemukakan adalah karena merasa tidak perlu konsultasi (45 persen), yakin bisa mencari jalan keluar sendiri (42 persen), biaya mahal (41 persen), dan malu. untuk bercerita kepada orang asing (33 persen).
Namun, sebagian masyarakat juga mengaku tidak mengetahui tentang layanan kesehatan jiwa (27 persen).
Selanjutnya dari 31 persen masyarakat yang pernah mencoba layanan kesehatan jiwa menyatakan mencoba layanan tersebut karena mudah diakses (63 persen), tenaga kesehatan memiliki kemampuan komunikasi yang baik (59 persen), biaya terjangkau (57 persen), memiliki reputasi pelayanan yang baik. (47 persen), dan mengikuti rekomendasi dari teman, keluarga, influencer (37 persen).
Jenis layanan kesehatan yang dipilih adalah konsultasi dengan psikolog/psikiater di klinik kesehatan terdekat (61 persen), mengakses telemedicine melalui aplikasi online (54 persen), bergabung dengan komunitas sosial yang peduli kesehatan mental (38 persen), dan konsultasi dengan tokoh agama. (36 persen).
“Selain pemerataan akses fasilitas dan dukungan kesehatan jiwa, edukasi dari berbagai pihak masih diperlukan untuk menghilangkan stigma negatif terhadap gangguan kesehatan jiwa. Dengan demikian, setiap orang diharapkan memiliki akses kesehatan dan kesempatan yang sama untuk tetap sehat jasmani dan rohani,” pungkas Eileen.
(MMI)