Kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur pada 1 Oktober 2022 yang memakan ratusan korban jiwa merupakan tragedi luar biasa dalam sejarah sepak bola di Indonesia dan dunia. Kejadian ini harus menjadi pembelajaran bersama dan bahan evaluasi total untuk perbaikan ‘budaya’ sepak bola negara.
Terkait kejadian tersebut, Prof. Tjipto Prastowo, Ph.D., guru besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Negeri Surabaya (Unesa) juga berkomentar dari perspektif ilmu kebumian, bidang keahliannya. Menurut dia, ilmu bumi membedakan bencana bumi menjadi dua.
Pertama, bencana geologi seperti gempa tektonik, letusan gunung berapi dan tsunami. Bencana geologi cenderung non-antropogenik, artinya tidak dipicu oleh aktivitas manusia. Karena memang tidak bisa dicegah, tapi dampak negatifnya bisa dikurangi.
Kedua, bencana hidrometeorologi bersifat antropogenik, artinya dipicu oleh aktivitas manusia. Karena itu harus dicegah. Contoh bencana dalam kategori ini antara lain banjir bandang, banjir rob, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, tanah longsor dan likuifaksi.
“Bencana hidrometeorologi antropogenik ini misalnya meliputi kecelakaan transportasi (darat, laut, udara), kecelakaan industri (kasus Chernobyl), termasuk tragedi Kanjuruhan,” katanya dalam keterangan pers yang diterima. Suarasurabaya.netSenin (4/10/2022).
Dia melanjutkan, bencana hidrometeorologi (antropogenik) seharusnya dapat dicegah, sehingga istilah “bencana alam” sebagai terjemahan dari “bencana alam” tidak tepat.
“Saya sangat percaya bahwa alam diciptakan oleh Allah SWT untuk kemaslahatan umat manusia dan bukan sebaliknya: memberi bencana,” ujarnya.
“Maka dengan segala kerendahan hati saya mengajak semua pihak untuk menyebut bencana geologi dan bencana hidrometeorologi sebagai bencana bumi, bukan bencana alam,” lanjutnya.
Dalam bahasa Inggris, bencana bumi adalah bencana terkait bumi sedangkan bencana alam adalah bencana alam. Kedua istilah tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Tragedi Kanjuruhan juga dapat dilihat dari segi psiko-sosiologis.
Akhir-akhir ini, lanjutnya, begitu banyak permasalahan sosial mulai dari pendistribusian minyak goreng hingga penegakan hukum (penegakan hukum) Yang rendah. Bukan tidak mungkin, massa pendukung tim sepak bola yang mayoritas berasal dari kelompok “akar rumput” itu bermasalah sejak keluar rumah.
“Mungkin belum bekerja atau sudah bekerja, tapi gaji rendah, perut lapar tanpa uang atau punya uang tapi tidak banyak. Kecemburuan sosial ada di mana-mana. Stratifikasi membagi massa dalam polarisasi menjadi dua kelompok, yaitu mereka yang merasa “kalah dan kalah” dan mereka yang “mengklaim menang”, ujarnya.
Polaritas yang besar memicu gesekan sosial. Reaksi massa adalah letusan sosial dari dalam dapur magma yang tertekan. Tragedi Kanjuruhan dengan demikian merupakan tragedi sosial, tragedi kemanusiaan yang merupakan indikasi jelas bahwa bencana antropogenik dapat menjadi pemicu kematian yang sia-sia.
“Tanpa menyalahkan pihak manapun dan siapapun atas hilangnya lebih dari seratus nyawa dalam tragedi Kanjuruhan, mari belajar dari sekarang. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Ini harus menjadi pelajaran untuk meningkatkan budaya sepakbola, pertandingan, suporter, dan sistem keamanan di masa mendatang,” pungkasnya.(gat/ipg)