SOLOPOS.COM – Ardian Nur Rizki (Dokumen Khusus/Pribadi).
Solopos.com, SOLO — Sepak bola Indonesia pada awalnya lahir sebagai alat pemersatu. Sarana kaum pribumi untuk menumbangkan arogansi dan kebodohan imperialisme benua biru (Palupi, 2004). Sepak bola Indonesia pernah menjadi kendaraan ampuh untuk memperkuat sekat-sekat suku. Modus pamungkas untuk mewujudkan keragaman terpadu.
Memang, sejak awal, sepak bola telah menjadi ”lebih dari sekadar olahraga” atau ”lebih dari sekadar permainan”. Sepak bola sering diamanatkan sebagai penjaga rahmat dan kehormatan suatu bangsa. Dengan demikian, kemenangan, kebanggaan, dan kejayaan ditahbiskan sebagai cita-cita utama, sedangkan sportivitas sering ditinggalkan.
PromosiDaihatsu Rocky, Rp. 200 juta mobil, jadi hanya Rp. 99.000
Sepak bola merupakan wahana yang memiliki kekuatan untuk menyatukan berbagai kelompok dalam satu kesatuan massa yang besar. Lebih dari itu, sepak bola kerap dijadikan pelampiasan berbagai gesekan yang terjadi di luar lapangan.
Sepak bola dianggap sebagai pelepas penat dari segudang rutinitas kerja masyarakat. Beragam ekspresi tercurah di stadion: pujian dan penyembahan hingga bantah celaan; dari sorakan, tawa dan tawa, hingga kemarahan.
Rivalitas antar suporter di Indonesia sering disalahartikan. Kebiadaban yang diwujudkan dalam ekspresi kekecewaan suporter dan tindakan represif dari aparat membuat iklim sepak bola Indonesia semakin menggelitik bagi para perenang – seperti yang terjadi usai laga Arema FC melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu (23/2). 1/10/2022). Suatu bentuk ironi dan tragedi terburuk dalam sejarah sepakbola dunia!
Bentrokan
Semua casting ekspresi ini perlu disertai dengan “kedewasaan” dan perombakan mental. Semua pendukung harus memahami esensi dan batasan persaingan. Ada beberapa mentalitas kuno sepakbola Indonesia yang harus dirombak.
Pertama, pembenaran segala cara untuk memenangkan pertandingan. Kedua, suporter hanya siap untuk menang dan tidak pernah siap menerima kekalahan – apalagi jika klub kesayangannya kalah berturut-turut.
Ketiga, menyampaikan aspirasi suporter dengan membuat kerusuhan, menyerbu stadion, dan merusak fasilitas umum. Keempat, pelecehan seksual dan diskriminasi gender di stadion. Kelima, wasit dan seluruh ofisial pertandingan yang kerap meniadakan integritas. Keenam, tindakan represif oleh penguasa.
Semuanya membentuk sebuah siklus. Siklus semacam ini seperti lingkaran setan yang tak berujung. Meski korban terus berjatuhan, tetap saja tidak bisa merangsang terciptanya cerminan perdamaian. Alih-alih sadar diri, kejatuhan korban justru dibalas dengan upaya balas dendam.
Tindakan yang dapat melukai, melukai, atau bahkan membunuh lebih banyak pendukung lawan dianggap sebagai kemenangan. Tak hanya “menyerang” pendukung lawan, aparat kerap menjadi sasaran kekecewaan – dan tindakan represif aparat yang melampaui batas, membuat keadaan semakin runyam!
Menurut Ekkers dan Hoefnagels (1972), salah satu pemicu utama terjadinya chaos dalam pertandingan sepak bola adalah perilaku pemain di lapangan. Tingkah laku pemainnya bagus gerak tubuh dan tutur kata, berpengaruh signifikan terhadap pola perilaku pendukung. Pertandingan olahraga dan adil, akan membuat iklim tribun kondusif.
Di sisi lain, pertandingan yang penuh kekerasan, kekerasan, dan kontroversial berpotensi memprovokasi suporter untuk melakukan tindakan serupa. Jadi, untuk mengurangi potensi kerusuhan, setiap pemain harus benar-benar mengingatnya permainan adil bukan sekedar slogan seremonial yang terbentang di awal permainan.
Dalam teori psikologi sosial, frustrasi dalam kehidupan sosial adalah akar dari perilaku agresif penggemar. Sindhunata dalam buku air mata bola (2002) menyatakan bahwa pertandingan sepak bola sering dijadikan saluran agresivitas. Power football mengadu dua tim lawan satu sama lain dalam jumlah besar.
Fenomena kerusuhan pendukung di Indonesia merupakan masalah kompleks yang tidak disebabkan oleh satu faktor saja. Setelah itu menyebar xenofilia dalam budaya tribun suporter di Indonesia, mentalitas ultras atau hooliganisme–dari pakaian hingga hobi rusuh—benar-benar menjiplak tanpa filter oleh beberapa penggemar. Hal inilah yang membuat “kerusuhan asap” bisa terjadi kapan saja, bahkan tanpa didahului oleh ‘api’ yang menyulutnya.
Larutan
Perlu ada upaya besar-besaran dan holistik untuk mengurangi kisruh suporter sepak bola. PSSI – sebagai induk organisasi sepak bola nasional – harus mulai merumuskan formula untuk menciptakan mentalitas suporter yang berbudi luhur. Selama ini, PSSI lebih memilih menempuh cara represif dengan memberikan sanksi kepada suporter yang bertindak.
Bukannya membuat jera, sanksi yang diberikan PSSI kerap ditanggapi dengan sinis dan apatis. Seharusnya PSSI tidak hanya mengumbar sanksi, tapi juga ikut mengedukasi suporter. PSSI harus memfasilitasi upaya rekonsiliasi antara pendukung yang terlibat dalam gesekan.
Dengan demikian, tindakan preventif—mendidik dan memfasilitasi perdamaian pendukung—dan tindakan represif—sanksi tegas terhadap kerusuhan—dapat berjalan beriringan untuk menciptakan hubungan yang kondusif antarpendukung.
Faktor fundamental lain yang perlu dibenahi adalah mentalitas suporter dalam memaknai rivalitas. Stigma bodoh harus segera disingkirkan. Suporter harus sadar bahwa perwujudan rivalitas harus berorientasi pada prestasi – tidak saling melukai dan melukai.
Rivalitas, jika diwujudkan dalam kekacauan dan bentrokan, hanya akan berujung pada sanksi yang merugikan tim. Sanksi dari Komisi Disiplin PSSI biasanya berupa larangan menonton pertandingan, larangan memakai atribut, atau denda yang dikenakan kepada tim.
Selain itu, suporter yang suka rusuh akan kesulitan mendapatkan izin keamanan untuk menjaga perjuangan klub kesayangannya di laga kandang dan tandang. Alhasil, klub-klub pendukung harus berjuang sendiri. Lalu, untuk apa dipermasalahkan jika dampaknya hanya merugikan klub yang didukungnya? Mentalitas pendukung yang rasional harus memahami logika sederhana semacam ini.
Dewan pendukung juga harus mendidik anggotanya untuk mendefinisikan kembali arti persaingan. Kompetisi dan kompetisi cukup diwujudkan selama 90 menit dengan memperebutkan kreasi di tribun. Setelah itu, para pendukung harus kembali ke standar pelukan dan jabat tangan dalam ikatan persaudaraan. Sepak bola harus kembali ke khitahnya, sebagai pemersatu bangsa! Suporter adalah garda utama sepak bola murahan.
(Esai ini dimuat di Harian Solopos edisi 3 Oktober 2022. Penulis adalah penerbit Perpustakaan Sepak Bola Surakarta)