FIFA akan mengawal langsung transformasi ini dengan berkantor di Indonesia.
Jakarta (ANTARA) – FIFA mengeluarkan sikap terkait Tragedi Kanjuruhan dan sikap badan sepak bola dunia itu lebih bersifat memprovokasi perbaikan daripada menghukum seperti yang dibayangkan sebagian orang.
Tidak ada kata “sanksi” dalam sikap FIFA yang disampaikan dalam surat yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo.
Sebaliknya, ada kata “transformasi” yang bernuansa lebih konstruktif namun mengandung tantangan dan tuntutan kerja yang super serius.
“Berdasarkan surat (FIFA), alhamdulillah sepak bola Indonesia belum ada sanksi dari FIFA,” kata Presiden Jokowi dalam keterangan pers, 30 Oktober.
FIFA menginginkan transformasi agar iklim sepakbola lebih positif yang bisa menyelamatkan dan menghibur semua orang.
Apa yang terjadi di Indonesia saat ini mengingatkan dunia sepakbola akan revolusi sepakbola Inggris pasca Tragedi Hillsboroug pada 15 April 1989.
Peristiwa tergelap dalam sejarah sepak bola Inggris terjadi sebelumnya kickoff Pertandingan semifinal Piala FA antara Liverpool dan Nottingham Forest.
Saat itu, fans kedua tim yang sama-sama fanatik berduyun-duyun ke stadion untuk menyaksikan tim kesayangannya bertanding.
Saat itu stadion sepak bola di Inggris masih diperbolehkan berdiri sehingga tidak heran jika stadion ini dikunjungi orang dalam jumlah yang jauh lebih banyak dari kapasitas stadion.
Guna mengurangi kepadatan di luar pintu masuk pintu putar, polisi Inggris kemudian membuka Pintu C yang sebenarnya difungsikan khusus sebagai akses keluar, agar suporter bisa masuk ke dalam stadion.
Fatalnya, di pintu ini penonton berdesak-desakan hingga akhirnya menimbulkan kericuhan yang merenggut 97 nyawa dan 766 luka-luka.
Setelah Tragedi Hillsborough, ditambah dua tragedi lainnya termasuk Tragedi Heysel pada tahun 1985, Inggris mereformasi sistem sepakbolanya.
Dan salah satu reformasi itu dimulai dari stadion.
Meletakkan dasar untuk reformasi
Menyusul Tragedi Hillsborough, pihak berwenang Inggris membuat rekomendasi untuk menghilangkan tribun berdiri di semua stadion, menyarankan agar semua tribun penonton harus ditempati atau kursiseperti yang diketahui hingga saat ini.
Ternyata perubahan tersebut telah meletakkan dasar bagi reformasi tata kelola sepakbola Inggris seperti yang dikenal saat ini.
Bahkan, inisiatif ini menjadi salah satu hal yang melatarbelakangi lahirnya Liga Primer Inggris di awal tahun 1990-an, yang sebelumnya bernama Football League First Division.
Stand, yang semuanya berupa kursi, juga berkontribusi pada transformasi budaya dalam cara sepak bola Inggris dimainkan dan ditonton.
Desain tribun penonton berupa kursi menjaga kapasitas stadion tetap terjaga sehingga fisik stadion menjadi lebih bersahabat demi keamanan dan keselamatan penonton dan semua yang terlibat di dalamnya, termasuk para pemain sepak bola.
Suasana yang membuat semua orang nyaman dan merasa aman saat ini langsung menghilangkan kebrutalan penonton atau holiganisme.
Holiganisme sempat menyentuh sepak bola Inggris hingga memicu kerusuhan besar-besaran yang merenggut 39 nyawa dalam tragedi di Stadion Heysel di Belgia, jelang laga final Piala Eropa (sekarang Liga Champions) antara Liverpool dan Juventus pada 29 Mei 1985.
Ditambah dengan langkah drastis memberantas holiganisme akibat Tragedi Heysel, salah satunya dengan membuat database para pembuat onar kemudian di-blacklist, sepak bola Inggris berubah drastis menjadi jauh lebih aman dan nyaman sehingga bisa dinikmati oleh siapa saja.
Perubahan suasana ini memicu gairah yang besar terhadap sepak bola di Inggris, yang salah satunya memicu dunia usaha untuk berlomba-lomba memasuki bisnis sepak bola yang menciptakan ekosistem bisnis baru yang menarik perhatian investor kelas dunia.
Salah satu yang bisa disebutkan, mengutip ulasan laman Sky Sport pada 25 April 2016, adalah pendapatan besar yang diperoleh pemegang hak siar yang 400 persen lebih besar dari sebelum transformasi pasca Tragedi Hillsbrough.
Selain itu, Liga Premier sedang ditonton di lebih dari 20 negara di seluruh dunia. Kini, mengutip riset SPORT+MARKT, pemirsa televisi di seluruh dunia yang menonton Liga Utama Inggris mencapai 4,7 miliar pemirsa per tahun. Selain itu, sekitar 1,4 miliar orang di seluruh dunia mengaku sebagai pendukung klub Liga Inggris.
Penghasilan besar dari bisnis sepak bola ini kemudian mengalir kembali ke kantong klub-klub yang kemudian membantu membesarkan klub, salah satunya membuat profil keuangan klub menjadi lebih baik sehingga bisa lebih kuat, termasuk dengan lebih leluasa merekrut pemain-pemain hebat dari keliling dunia.
Situasi ini membuat wajah sepakbola Inggris berubah jauh lebih menarik karena telah berubah menjadi pertemuan pendekatan sepakbola di seluruh dunia yang dibawa oleh pelatih dan pemain asing.
Liga sepak bola mereka juga menjadi magnet bagi para pemain sepak bola dari seluruh dunia.
Upaya yang sangat serius
Yang menarik dari transformasi stadion di Inggris adalah lahirnya budaya baru dalam bermain dan menikmati sepak bola.
Ini seperti sebuah revolusi yang disebabkan oleh penggunaan e-tiket KRL yang digagas oleh Ignatius Jonan di Indonesia pada tahun 2013.
Inisiatif ini telah menciptakan transformasi besar dalam sistem transportasi massal di Indonesia dan juga mengubah budaya menggunakan transportasi umum yang awalnya terjadi di Jakarta dan sekitarnya.
Di antara transformasi budaya utama yang diciptakannya adalah kebiasaan mengantri dan menghilangnya calo tiket.
Budaya itu sendiri menciptakan serangkaian perubahan lain dalam cara Indonesia menggunakan dan mengelola fasilitas umum, khususnya kereta api.
Konsekuensi lebih lanjut dari itu adalah tampilan stasiun-stasiun kereta api yang telah berubah selamanya menjadi lebih nyaman dan lebih aman dan lebih megah, sehingga dapat digunakan sebagai ruang bisnis dan sosial.
Mungkinkah transformasi serupa di Inggris dan KRL Jabodetabek juga terjadi di sepak bola Indonesia?
Jika melihat betapa seriusnya pemerintah Indonesia dan pemangku kepentingan sepakbola Indonesia dalam mereformasi sepakbola Indonesia pasca Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 131 orang, jawabannya sangat mungkin terjadi.
Pemerintah Indonesia, berkonsultasi dengan FIFA dan Konfederasi Sepak Bola Asia AFC, mengambil lima langkah untuk mengubah sepak bola Indonesia.
Kelimanya adalah membangun standar keamanan stadion di Indonesia, merumuskan protokol standar dan prosedur keamanan berdasarkan standar keamanan internasional, bersosialisasi dan berdiskusi dengan klub sepak bola di Indonesia termasuk pendukung untuk mendapatkan saran dan komitmen bersama, mengatur jadwal pertandingan dengan mempertimbangkan risiko, dan melibatkan ahli. .
Lima langkah ini terlihat menjanjikan perubahan besar yang bisa sangat fundamental bagi transformasi sepak bola Indonesia nantinya.
FIFA, AFC, PSSI, dan pemerintah Indonesia bahkan telah membentuk Satgas Transformasi Sepak Bola Indonesia yang menurut Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan akan diisi oleh pakar sepakbola, keamanan dan keselamatan stadion, dan lain-lain.
Empat kementerian serta Polri terlibat dalam program transformasi yang diharapkan Menteri Pemuda dan Olahraga Zainuddin Amali bisa selesai pada November tahun ini.
Keempat kementerian tersebut adalah Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Sementara itu, FIFA akan mengawal langsung transformasi ini dengan berkantor di Indonesia.
Semua ini mencerminkan bahwa ada upaya super serius yang dapat membuat semua kalangan di Indonesia optimis bahwa sepakbola Indonesia akan jauh lebih baik dari yang kita lihat saat ini. Semoga.
HAK CIPTA © ANTARA 2022