Tekno  

Penutupan Operasi PLTU Batubara Harus Melibatkan Semua Pihak

Jakarta, Gatra.com – Pemerintah Indonesia berusaha menghentikan pengoperasian pembangkit listrik tenaga batu bara. Pemerintah harus melibatkan semua pihak untuk mewujudkan komitmen tidak lagi mengoperasikan pembangkit listrik ini pada tahun 2060.

“Melalui fase pra-penutupan pembangkit, perlu dipastikan bahwa semua pemangku kepentingan terlibat, terutama pemangku kepentingan lokalpemerintah, dan masyarakat,” kata Balada Amor, Senior Mining Specialist Bank Dunia dalam keterangan pers, Rabu (12/10).

Amor dalam Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2022 menjelaskan bahwa pemerintah dapat membangun kemitraan dengan berbagai pihak dan melibatkan masyarakat yang terkena dampak dalam merencanakan dan melaksanakan transisi energi untuk meminimalkan risiko sosial dan ekonomi.

Penghentian operasi PLTU perlu dibarengi dengan pengelolaan aset yang baik, seperti teknologi, infrastruktur, dan pekerja. Proses transisi energi ini memerlukan persiapan dan pelaksanaan hingga satu dekade atau lebih yang meliputi fase pra-penutupan dan shutdown PLTU serta transisi di tingkat regional.

Baca juga: Pemerintah Atur Skema Shutdown Pembangkit Listrik dan Kompensasi

Berkaca dari pengalaman transisi energi, perusahaan utilitas di sektor energi di Portugal, EDP Producao, memulai proses transisi dari PLTU mereka di Sines yang ditutup pada 2020 ke Green Hydrogen Hub yang direncanakan beroperasi pada 2026.

Selain itu, EDP juga menekankan kemitraan sebagai hal yang mendasar dan melaksanakan program transisi energi bagi karyawannya. EDP ​​juga menerapkan program yang sama kepada pekerja di perusahaan pemasokyang juga terkena dampak penutupan PLTU ini.

“Faktor kuncinya adalah melibatkan institusi publik, sosial, swasta dan komunitas yang sudah ada sehingga tidak tumpang tindih tetapi saling melengkapi,” kata Jorge Mayer, Kepala Manajemen Pemangku Kepentingan EDP Producao.

Selain itu, kata Mayer, penting juga bagi dinas tenaga kerja nasional untuk mencatat kontak para pekerja yang bekerja di pembangkit listrik tersebut sehingga dapat menghubungi mereka untuk berpartisipasi dalam program peningkatan kapasitas.

Mayer mengatakan perlu juga dilakukan hal-hal lain, seperti memberikan tunjangan kehilangan pekerjaan bagi karyawan yang telah bekerja lebih dari 2 atau 3 tahun dan menyediakan fasilitas transportasi untuk membantu memobilisasi mantan karyawan ke kantor EDP Producao jika mereka membutuhkan bantuan.

Sementara itu, Justin Roche, Energy Initiatives Lead World Economic Forum, menyebutkan tiga aspek penting dalam melakukan transisi energi melalui repurposing PLTU, yaitu teknologi, pembiayaan, dan keadilan.

Dijelaskannya, secara teknologi, pengalihan tujuan PLTU ini akan mendapatkan manfaat antara lain lahan, jaringan transmisi, dan peralatan yang dapat digunakan untuk pengembangan energi terbarukan. Selain itu, para pekerja dapat dilatih untuk beralih profesi ke energi bersih.

“Analisis manfaat yang dilakukan di India dari pengalihan tujuan PLTU ini sebenarnya lebih besar daripada biaya penghentian PLTU tersebut,” ujarnya.

Menurut Roche, manfaat langsung terbesar dari repurposing dihasilkan ketika PLTU diganti dengan PLTS gabungan, penyimpanan daya baterai (penyimpanan baterai), dan Synchronous Condenser yang menggunakan genset dari PLTU lama.

“Selain itu, sebagian kebutuhan CAPEX repurposing dapat dipenuhi dari nilai sisa aset pembangkit lama,” kata Roche.

Kasus lain di Andorra adalah PLTU 1.050 MW yang dihentikan dan diganti dengan PLTS 235 MW dan penyimpanan baterai 54 MW di wilayah operasi PLTU. Pembangunan PLTS 1.300 MW, PLTB 90 MW, dan penyimpanan baterai tambahan 105 MW juga dilakukan di area sekitar PLTU.

Baca juga: Siapkan KTT G20, PLTU Paiton Berhasil Implementasi 6 Persen Co-Firing

Roche mengatakan, dari sisi pembiayaan, pemerintah perlu menciptakan struktur inovatif dengan kebijakan dan regulasi yang jelas. Selain itu, sebagian dari struktur keuangan perlu dialokasikan untuk program transisi energi yang adil.

“Menyelenggarakan dialog sosial yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya pekerja yang terkena dampak, tetapi juga keluarga, komunitas, pemasok, dan lainnya sehingga semua aspirasi terkait transisi energi dapat diakomodasi,” kata Roche.

ISew terselenggara bekerjasama dengan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Institute for Essential Services Reform (IESR), dan Clean, Affordable, Secure Energy for Southeast Asia (CASE).

CASE merupakan program kerjasama antara dua negara: Indonesia–Jerman, dalam hal ini Direktorat Listrik, Telekomunikasi dan Informatika, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, dan didanai oleh Kementerian Ekonomi dan Iklim Jerman Pemerintah Federasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published.