Immanuel Lodja | Minggu, 16/10/2022 21:11 WIB
Anggota Komisi X DPR RI yang membidangi pendidikan, Anita Jacoba Gah saat berdialog dengan Ketua BMPS NTT, Winston Rondo dan pengurus lainnya di Rumah Makan Celebes Kupang, Sabtu (15/10/2022).
KATANTT.COM–Perjuangan Badan Permusyawaratan Perguruan Tinggi Swasta (BMPS) NTT untuk membesarkan sekolah swasta se-Flobamorata semakin gencar dilakukan.
Kekhawatiran terakhir, rata-rata sekolah swasta kehilangan 3 – 10 guru terbaiknya karena lulus P3K. Sejumlah kecil telah diberhentikan dan guru baru telah direkrut. Sedangkan sebagian besar lainnya masih mengajar di sekolah swasta menunggu penempatan di sekolah negeri.
Membahas berbagai permasalahan yang melanda sekolah swasta di NTT, BMPS melakukan audiensi dengan Senator Paul Liyanto, Senin (10/10/2022) lalu. Paul berjanji akan ‘berteriak’ dalam rapat paripurna DPD di Jakarta.
Baru-baru ini BMPS NTT melakukan audiensi dan berdialog dengan Anggota Komisi X DPR RI yang membidangi pendidikan, Anita Jacoba Gah, SE, di Rumah Makan Celebes Kupang, Sabtu (15/10/2022).
Anita Gah berjanji siap bersaing di Kemendiknas untuk memperjuangkan nasib sekolah swasta di NTT.
Dialog tersebut diawali dengan pemaparan berbagai permasalahan yang melanda sekolah swasta di NTT sebagai hasil kajian BMPS NTT. Presentasi disampaikan oleh Wakil Ketua BMPS NTT yang juga Ketua Majelis Pendidikan Katolik (MPK) Keuskupan Agung Kupang (KAK), Romo Kornelis Usboko, Pr.
Pastor Kornelis menyebut ada empat masalah serius yang saat ini membelenggu sekolah swasta di NTT pada 2022.
Pertama, akumulasi besar-besaran siswa di sekolah negeri. Akibatnya, ada sekolah swasta yang gigit jari karena absennya siswa baru. Misalnya, SMAK Ki Hajar Dewantara Kupang hanya memiliki 7 siswa baru untuk tahun ajaran 2022. Pemicunya, sekolah negeri melanggar Pedoman Penerimaan Siswa Baru (PPDB) 2022. Sekolah negeri hanya ingin mengejar dana BOS dalam jumlah besar, mengabaikan pendidikan karakter.
Kedua, program pertolongan pertama merugikan sekolah swasta. Hingga saat ini, belum ada peraturan, baik pusat maupun daerah, untuk melindungi sekolah swasta dengan menempatkan kembali guru P3K yang lulus ke pos sekolah asalnya.
“Sekolah kami juga terkena dampaknya. Dua guru harus ikut tes P3K, tidak ada penggantinya,” kata Fredus Kolo, Kepala Sekolah SMK Sint Carolus Kupang. Bahkan SMA Kristen Kupang harus kehilangan 8 guru karena ikut serta dalam pertolongan pertama. Kami menanam orang lain yang panen, tambah Winston Rondo, Kepala BMPS NTT.
Ketiga, perpindahan guru PNS/ASN dari sekolah swasta sangat tinggi karena kecukupan jam mengajar/sertifikasi, serta terutama alasan kebijakan UU ASN.
Keempat, honorarium atau gaji guru sekolah swasta sangat rendah, di bawah Rp 500 ribu/bulan. Sayangnya, pembayarannya masih mencicil. Selain itu, banyak guru sekolah swasta yang tidak menerima insentif transportasi dari Pemda NTT sebesar Rp. 400 ribu/bulan.
Rekomendasi
Romo Kornelis juga menyampaikan beberapa rekomendasi yang akan diperjuangkan anggota DPR RI, Anita Gah di tingkat nasional. Pertama, DPR RI ikut mengawasi pelaksanaan PPDB setiap tahun ajaran agar tidak merugikan sekolah swasta.
Meminta dukungan DPR RI untuk mendorong kebijakan yang lebih besar di tingkat kementerian untuk perlakuan yang adil dan setara terhadap sekolah swasta dan negeri, baik dalam kebijakan sarana/prasarana sekolah, kesejahteraan guru, pelatihan guru maupun PPDB.
Khususnya dalam penerapan teknologi pendidikan dalam rangka PEMBELAJARAN MANDIRI di NTT, ternyata masih sangat banyak sekolah dan yayasan swasta yang belum memiliki sumber daya yang memadai untuk menerapkan teknologi pendidikan. “Kami berharap dukungan DPR RI dan pemerintah pusat bersedia mensubsidi teknologi pendidikan,” kata Romo Kornelis.
Romo Kornelis juga mendorong agar RUU SISDIKNAS harus mencakup kebijakan khusus dan keberpihakan pemerintah untuk ikut melindungi dan memperkuat peran sekolah swasta di Indonesia. Termasuk perlunya direktorat khusus sekolah swasta di Kemendiknas seperti yang sudah ada sebelumnya.
Kedua, meminta dukungan DPR RI untuk mendorong kebijakan tingkat nasional untuk secara khusus merekrut guru P3K untuk ditempatkan di posko sekolah swasta mengingat NTT merupakan wilayah 3T dimana peran sekolah sangat strategis dan penting. Padahal, 40 persen anak NTT bersekolah di sekolah swasta.
Ketiga, mendorong perlunya revisi UU ASN yang menjadi faktor penghambat penarikan guru ASN dari posko sekolah swasta yang ada dan larangan penempatan guru ASN baru ke sekolah swasta. “DPR RI perlu melihat ke bawah agar pemerintah tidak bertindak semena-mena,” kata Romo Kornelis.
Keempat, meminta dukungan DPR RI untuk merumuskan kebijakan pemerintah yang lebih adil dan tidak memihak untuk meningkatkan kesejahteraan guru honorer baik sekolah negeri maupun guru honorer yayasan di NTT yang masih sangat rendah dan memprihatinkan.
BMPS NTT mengusulkan kepada DPR RI dan pemerintah pusat untuk mengangkat semua guru honorer (negeri dan swasta) yang telah menjabat lebih dari 5 tahun ke atas sebagai ASN tanpa harus mengikuti seleksi P3K. Jika diperlukan, penilaian kompetensi dapat mengacu pada hasil evaluasi guru dari masing-masing sekolah.
“Kami berharap anggota DPR RI mendengar rintihan dan tangisan sekolah swasta,” tambah John Dekresano, pengawas BMPS NTT.
Anggota BMPS NTT lainnya, Sam Litik, meminta pemerintah turut serta mengelola sekolah swasta agar kegiatan belajar mengajar berkualitas dan berjalan dengan baik. Misalnya, perlunya pembagian dana antara yayasan pemerintah dan swasta untuk mengadakan pelatihan guru dan kegiatan lainnya.
Suara keras
Anita Gah dalam tanggapannya mengapresiasi BMPS NTT yang mempelajari permasalahan yang melanda sekolah swasta, lengkap dengan temuannya.
“Inilah yang saya butuhkan pada masa reses ini. Saya dari NTT, tentunya untuk menampung dan memperjuangkan permasalahan di bidang pendidikan di NTT, khususnya sekolah swasta. Perlu dukungan dari daerah. Saya akan berbicara lantang di parlemen,” kata Anita.
Mengenai akar permasalahan seputar sekolah swasta, Anita menegaskan bahwa UU Sisdiknas memang belum direvisi. “BMPS NTT bersama saya memperjuangkan tuntutan revisi UU Sisdiknas. Saat ini kami sedang menyerap aspirasi di lapangan untuk menyempurnakan UU Sisdiknas,” ujarnya.
“BMPS NTT perlu melihat bagian mana dari undang-undang yang perlu disempurnakan. Bab mana, pasal mana, semuanya harus dilihat. Kalau soal titik dan koma harus hati-hati. Itu tugas BMPS NTT untuk membantu saya. Saya siap bertarung di Komisi X dan berjuang di Kemendikbud,” jelas Anita.
Anita juga berjanji akan memperjuangkan mengembalikan guru P3K yang sudah lulus ke sekolah asalnya agar tidak merugikan sekolah swasta.
Saat reses di NTT, Anita meminta kepada BMPS NTT untuk mendampinginya bertemu dengan para pemangku kepentingan seperti Gubernur NTT, Walikota Kupang dan para bupati untuk bersama-sama menyelesaikan permasalahan yang dihadapi sekolah swasta.
Ketua BMPS NTT, Winston Rondo, menegaskan untuk membesarkan sekolah swasta di NTT, pihaknya menggunakan semua lini, terutama pengambil kebijakan. “BMPS tidak hanya bicara saja,” katanya.
TAGS : Sekolah Swasta BMPS NTT Anggota DPR RI