Tekno  

Polisi Tak Lagi Pakai Gas Air Mata untuk Pengaman Pertandingan Sepak Bola

JAKARTA – Kabag Humas Mabes Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan Polri tidak akan lagi menggunakan gas air mata saat melakukan pengamanan pertandingan sepak bola di Indonesia. Hal ini sebagai wujud evaluasi dan penyempurnaan regulasi keselamatan dan keamanan pascatragedi Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.

Ke depan, Polri akan memprioritaskan fungsi pelayan untuk memberikan keamanan selama pertandingan. Dengan begitu, ia memastikan tidak ada lagi alat pengendali yang berpotensi memprovokasi suporter sepak bola saat pertandingan berlangsung.

“Itu dan peralatan yang bisa memprovokasi massa di stadion, tentu tidak akan digunakan kembali,” kata Dedi, di Bandara Soekarno-Hatta, Sabtu (15/10).

Polisi memastikan akan mengusut tuntas peristiwa Kanjuruhan yang menewaskan ratusan orang itu. Hal itu ditegaskan dengan komitmen Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menuntaskan kasus ini. Sebagai antisipasi, pihaknya juga telah melakukan sejumlah penyempurnaan regulasi keselamatan dan keamanan.

Untuk penyempurnaan regulasi akan mengacu pada regulasi keselamatan dan keamanan yang telah dikeluarkan sesuai dengan statuta FIFA. “Mabes Polri sudah membuat regulasi tentang bagaimana keselamatan dan keamanan menjadi hal yang paling mutlak dalam mengamankan setiap pertandingan,” ujarnya lagi.

Selama ini Polri sudah mengatur regulasi pengamanan, mulai dari pertandingan di tingkat desa, kecamatan, kabupaten, nasional dan internasional. Peraturan ini mengutamakan keselamatan dan keamanan para penonton dan pihak-pihak yang terlibat dalam pertandingan.

“Mulai dari pertandingan tingkat desa sudah kita atur. Kemudian, di tingkat kecamatan, tingkat kabupaten, hingga tingkat nasional, bahkan sampai tingkat internasional semua standar keamanannya sama,” kata Dedi lagi.

Terkait kasus ini, Tim Gabungan Pencari Fakta Independen (TGIPF) mengumumkan kesimpulan penyelidikan yang dilakukan terkait Tragedi Kanjuruhan. Dalam kesimpulan laporan, setidaknya ada enam pihak yang bersalah dan harus bertanggung jawab.

Penemuan Tim
Pertama, adanya PSSI yang terbukti telah melakukan sosialisasi atau pelatihan yang memadai tentang peraturan FIFA dan PSSI kepada penyelenggara pertandingan, baik kepada panitia penyelenggara, aparat keamanan maupun suporter.

PSSI juga terbukti tidak menyiapkan personel komisaris pertandingan yang memahami tugas dan tanggung jawabnya, serta sesuai dengan kualifikasi yang dipersyaratkan, dalam mempersiapkan dan melaksanakan pertandingan sesuai dengan SOP yang berlaku.

Terbukti pula, PSSI tidak mempertimbangkan faktor risiko dalam menyusun jadwal kolektif penyelenggaraan Liga 1, serta keengganan PSSI untuk bertanggung jawab atas berbagai insiden penyelenggaraan pertandingan yang tercermin dalam regulasi PSSI. Dalam pengelolaan liga, PSSI juga terbukti kurang transparan dan akuntabel. Kemudian, ada regulasi PSSI yang berpotensi benturan kepentingan dalam struktur kepengurusan, khususnya unsur pimpinan PSSI (Komite Eksekutif) yang diperbolehkan berasal dari pengelola atau pemilik klub.

TGIPF juga menemukan masih ada praktik yang tidak memperhatikan faktor kesejahteraan petugas di lapangan. PSSI tidak menjalankan tugas dan kewajibannya dalam pengendalian pertandingan sepak bola Liga Indonesia dan pembinaan klub sepak bola di Indonesia.

Kemudian, PT Liga Indonesia Baru (PT LIB) terbukti tidak mempertimbangkan faktor risiko (high risk match) dalam menentukan jadwal pertandingan dan mengutamakan faktor keuntungan komersial (business orientation) dari jam tayang di media.

PT LIB juga dinilai tidak mempertimbangkan reputasi dan kompetensi terkait kualitas pejabat, termasuk ketua panitia pelaksana yang terbukti mendapat hukuman dari PSSI.

Dalam menunjuk petugas keamanan, PT LIB dikatakan belum melakukan uji kompetensi. Pengarahan hanya dilakukan melalui video conference zoom meeting selama 2 jam dan sertifikasi diberikan karena keperluan investigasi terkait pada 3 Oktober 2022.

Pihak yang bersalah selanjutnya adalah panitia penyelenggara (panpel) yang terbukti tidak memahami tugas dan tanggung jawab dalam menyelenggarakan pertandingan. Panpel juga tidak mengetahui adanya ketentuan spesifikasi teknis terkait standar stadion untuk penyelenggaraan pertandingan sepak bola, terutama terkait aspek keselamatan manusia.

Disebutkan, Panpel terbukti tidak memperhitungkan penggunaan pintu untuk menangani evakuasi penonton dalam keadaan darurat. Pintu masuk juga berfungsi sebagai pintu keluar dan pintu darurat, sedangkan sebenarnya ada pintu lain yang bisa digunakan dan berukuran lebih besar. Kemudian, Panpel tidak memiliki SOP tentang keharusan dan larangan penonton di area stadion (Safety Briefing). Serra tidak menyiapkan personel dan peralatan yang memadai (HT, Loudspeaker, Megaphone).

Tim juga menyimpulkan bahwa Panpel tidak menyiapkan rencana untuk menghadapi keadaan darurat, tidak memperhitungkan kapasitas stadion, tidak memberikan penerangan yang cukup di luar stadion dan tidak mensosialisasikan berbagai ketentuan dan larangan terhadap petugas keamanan. Panpel dinilai lalai karena tidak memperhitungkan jumlah steward sesuai kebutuhan lapangan dan tidak menyiapkan tim medis yang memadai.

Pihak keempat adalah Petugas keamanan (JADI). SO terbukti tidak memahami tugas dan tanggung jawab dalam menyelenggarakan pertandingan. Tidak dapat mengkoordinasikan semua elemen keamanan. Tidak menyampaikan tentang keharusan dan larangan dalam pertandingan.

Sedangkan pihak kelima adalah aparat keamanan di lapangan yang belum pernah mendapat pembekalan atau pelatihan tentang larangan penggunaan gas air mata dalam pertandingan sesuai aturan FIFA. Tidak ada sinkronisasi antara regulasi keamanan FIFA (FIFA Stadium Safety and Security Regulations) dengan regulasi Kapolri dalam penanganan pertandingan sepak bola. Dan tidak mengadakan TFG (Tactical Floor Game) dari seluruh unsur aparat keamanan (Brimob, Dalmas, Kodim, Yon Zipur-5).

Kemudian aparat keamanan juga terbukti tidak mengikuti langkah-langkah sesuai Pasal 5 Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian. Kemudian, petugas terbukti menembakkan gas air mata secara membabi buta ke arah lapangan, tribun, dan luar lapangan.

Pihak keenam adalah suporter yang dianggap tidak mengetahui atau mengabaikan larangan memasuki area lapangan pertandingan, termasuk larangan melempar flare ke dalam lapangan.

Leave a Reply

Your email address will not be published.