INFORMASI NASIONAL – Keanekaragaman hayati mencakup ekosistem, spesies, dan genetika, di mana kekayaan mikro-organisme memiliki potensi pemanfaatan berkelanjutan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi hijau selama krisis iklim.
“Indonesia sebagai negara mega-biodiversity, sudah saatnya kita melihat secara serius keanekaragaman hayati dari perspektif genetik,” kata Direktur Program KEHATI Rony Megawanto di acara tersebut. Diskusi Kelompok Terfokus “Potensi Bioprospeksi Indonesia untuk Pembangunan Hijau: Membangun Mekanisme Bioprospeksi yang Adil dan Berkelanjutan”, di Gedung Tempo, 27 September 2022.
Menurutnya, memiliki keanekaragaman hayati yang kaya menjadikan Indonesia memiliki potensi sumber daya modal pembangunan yang berkelanjutan. Potensi ini juga bisa bermanfaat bagi banyak pihak. “Pemerintah, perusahaan, dan masyarakat harus diuntungkan. Itu harus menjadi fokus kami.”
KEHATI, kata Rony, awalnya tidak mudah memasuki ranah teknis pengelolaan sumber daya genetik. Untuk memperdalam sumber daya genetik dan pemanfaatannya umumnya dilakukan oleh lembaga penelitian. “KEHATI bukan lembaga penelitian apalagi penelitian laboratorium dan KEHATI fokus pada pemberdayaan masyarakat.”
Direktur Program KEHATI Rony Megawanto dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Potensi Bioprospeksi Indonesia untuk Pembangunan Hijau: Membangun Mekanisme Bioprospeksi yang Adil dan Berkelanjutan”, di Gedung Tempo, Jakarta, Selasa, 27 September 2022. (Foto: Norman Senjaya)
Kemudian, pemanfaatan sumber daya genetik identik dengan industri, perusahaan besar. Sementara KEHATI bukan perusahaan seperti itu. “Saat kami berjalan, kami menyadari ada satu prospek yang bernama Bioprospeksi atau Bioprospection, diatur oleh Protokol Nagoya. Harus ada upaya untuk mempertahankan warisan itu dan mendapatkan manfaat bagi masyarakat. KEHATI kemudian mengambil peran mendorong Bioprospection karena ada unsur pemberdayaan masyarakat.”
Tidak hanya masyarakat, diakui Rony, riset dan swasta masih dibutuhkan untuk berinvestasi. “Kami berusaha membangun kerjasama itu. Misalnya FGD yang kita lakukan merupakan upaya kolaborasi, ada pemerintah, swasta, akademisi, dan sebagainya,” imbuhnya.
Saat ini, kata dia, pengembangan bioprospeksi masih bersifat sporadis, menyebar dan mandiri. Oleh karena itu, KEHATI berupaya mendorong terciptanya proses integrasi. “Bagaimanapun, Indonesia adalah negara mega keanekaragaman hayati. Negara yang dikenal dengan tingkat keragaman tertinggi di dunia. Jadi upaya ke arah itu harus terus berlanjut.”
Bioprospecting juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Dan jika dilakukan dengan benar akan memberikan manfaat bagi masyarakat setempat. Secara global, bioprospecting diatur oleh Protokol Nagoya, yang juga mengatur akses dan pembagian keuntungan. “Dan manfaatnya sudah dibagi untuk masyarakat lokal seperti apa, perusahaan seperti apa, pemerintah seperti apa.”
Kebutuhan riset, nyatanya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) siap mengakomodirnya. Ada dana besar yang tersedia untuk penelitian, termasuk untuk bioprospeksi. “BRIN telah mengelola dana kompetitif sebesar Rp. 6 triliun. Kompetitif dan terbuka untuk penelitian,” kata Kepala Badan Penelitian Kelautan dan Kebumian BRIN, Ocky Karna Radjasa.
Menurutnya, semua fasilitas infrastruktur penelitian di BRIN terbuka. Dapat memanfaatkan fasilitas penelitian di BRIN. “Artinya semua teman saya punya akses,” katanya.
Sementara itu, Kepala Pusat Pengkajian Pengaturan dan Penerapan Kekayaan Intelektual (RAKI) pada Jurusan Hukum Telekomunikasi, Informasi dan Kekayaan Intelektual, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Miranda Risang Ayu Palar mengatakan, dari perspektif masyarakat adat. , Indonesia pasti punya peta khusus untuk Akses ke Pembagian Manfaat (ABS), misalnya untuk setiap HKI atau Paten harus dipetakan yang mencakup pembagian manfaat bagi masyarakat.
Lebih lanjut ia menyarankan agar perspektif kita tentang HKI harus diubah. “HAKI seharusnya tidak hanya berlaku untuk individu tetapi harus mengangkat masyarakat.”
Kepala Pusat Pengkajian Pengaturan dan Penerapan Kekayaan Intelektual (RAKI) pada Departemen Telekomunikasi, Informasi dan Hukum Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Miranda Risang Ayu Palar saat Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Indonesia’s Potensi Bioprospeksi untuk Pembangunan Hijau: Mekanisme Membangun Bioprospeksi yang Adil dan Berkelanjutan”, di Gedung Tempo, Jakarta, Selasa, 27 September 2022. (Foto: Norman Senjaya)
Sedangkan dari sisi masyarakat, sebagai kustodian atau penerima manfaat, komitmen mereka harus diperhatikan dengan seksama. Menurutnya, tidak semua masyarakat adat memiliki komitmen yang diharapkan. Banyak masyarakat adat yang tergerus kemiskinan akan menjual apapun yang mereka miliki, termasuk untuk kepentingan mengurus hak kekayaan intelektual dan paten.
“Bukan itu yang kita inginkan. Kebijaksanaan tidak boleh dirusak oleh kapitalisme. Mereka membutuhkan peta ABS yang menyertainya, untuk mendapatkan manfaat yang sama,” kata Miranda. Oleh karena itu, ia sependapat bahwa pendidikan bagi masyarakat adat itu penting dan harus berkelanjutan agar tidak mudah tertipu oleh ekonomi kapitalis mengenai hak kekayaan intelektual atau paten.
FGD yang diselenggarakan KEHATI dan German Watch bekerjasama dengan Tempo ini juga menghadirkan pembicara dari kalangan akademisi, media, peneliti, pemerintah, dan industri. Seperti Dosen Fakultas Teknologi Pangan Universitas Udayana Bali, Pande Ketut Diah Kencana, Dosen Jurusan Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Suryo Wiyono, Dosen dan Peneliti dari Fakultas Ilmu Hayati ITB dan Teknologi, Dian Rosleine, dan masih banyak lagi.