Pemimpin bangsa ini harus belajar malu dengan kasus Kanjuruhan
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Pendiri Lingkar Sabang Merauke.
Aremania, klub pendukung Arema FC, telah memanggil Presiden Jokowi, Kapolri, Ketua PSSI, Panglima TNI, Menpora, DPR RI, PT. LIB (Liga Indonesia Baru), Direktur LIB dan panitia kompetisi sepak bola di Kanjuruhan Malang, pasca tragedi Kanjuruhan. Seminggu yang lalu, 1/10, kami memperingati tragedi terbesar dalam sejarah sepak bola kami, pembantaian brutal terhadap pendukung sepak bola.
Rekor kematian terbaru adalah 131 orang, termasuk puluhan anak-anak dan wanita. Dari sembilan pemanggilan Aremania, kita akan membahas poin pertama, yakni permintaan maaf dari Presiden, Ketua Umum PSSI, Kapolri, Panglima TNI, dan lain-lain. Intinya permintaan maaf itu adalah poin budaya, bukan soal pihak yang dituju berhubungan langsung, tapi tanggung jawab moral, apalagi kalau kejadian ini menjadi isu nasional bahkan internasional, jadi kita tidak sekedar mencari kambing hitam.
Permintaan maaf terutama ditujukan kepada ketua umum PSSI. Sebab, nitzan dan masyarakat percaya bahwa PSSI adalah simbol identitas sepakbola kita.
Permintaan maaf dari Iwan Bule (Mochammad Iriawan, Ketua Umum PSSI) sebenarnya ia sampaikan pada Minggu 2/10 lalu. Namun, mengapa orang masih tidak puas dan masih meminta Iwan Bule untuk meminta maaf? Bahkan suara itu terus bergema di media sosial?
Bagi Iwan Bule, permintaan maaf yang diinginkan masyarakat, khususnya netizen, bukan sekadar permintaan maaf, melainkan permintaan maaf yang disertai rasa bersalah, malu dan kemudian mengundurkan diri dari ketua umum PSSI. Sebab, di Indonesia, permintaan maaf seringkali hanya “lip service”, tanpa makna.
Di berbagai media, disebutkan bahwa Iwan Bule tidak menerima permintaan warganet agar dia mengundurkan diri, meskipun dia mengatakan bahwa dia harus terus mengabdi sebagai bentuk tanggung jawab. Karena itu, menurut dia, sebenarnya dia harus mengaudit mengapa kerusuhan itu terjadi. Dan ia juga merasa tidak terlibat dalam tataran teknis pelaksanaan pertandingan, terutama urusan keamanan, antara Arema FC dan Persebaya.
Bahkan, permintaan mundur dari Iwan Bule bukan hanya dari nitizan, yang dalam petisi change.org saja sudah mencapai 32.000 orang, tapi banyak pihak, baik ketua Bonek (pendukung Surabaya), Barnis (Relawan Anies), PMII. (Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia). , dan tokoh sepak bola.
Sebenarnya, bagaimana mengukur kejadian Kanjuruhan dengan permintaan maaf yang serius? Apakah permintaan suporter Arema FC terlalu mengada-ada?
Untuk itu kita harus melihat bagaimana standar moral elit kita dalam sebuah peristiwa yang menghebohkan atau dengan magnitudo yang sangat besar. Kita mulai dengan membandingkan dengan Korea Selatan. Mengapa Korea, karena bangsa ini termasuk dalam keluarga “Budaya Malu”, bukan “Budaya Rasa Bersalah”, seperti ras Jepang, Cina, dan Indonesia. Dalam “The Shame Culture”, David Broke, The New York Times, 15/3/2016, mengatakan bahwa seseorang sangat takut mengalami “Pengecualian Sosial”, terutama di era media sosial saat ini.