Tekno  

Tragedi Kanjuruhan pasti jadi duka terakhir sepakbola

Sumber foto: Antara/elshinta.com.

Elshinta.com – Sore itu, hujan deras mengguyur secara merata dari Kota Malang hingga Kabupaten Malang, Jawa Timur, jelang laga Arema FC vs Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan.

Jalan antara Kota Malang dan Kabupaten Malang yang basah akibat hujan, tak menyurutkan Aremania, begitu suporter Arema FC disapa, menuju ke stadion. Sepuluh Aremaniac dari Jalan Bareng, Kota Malang, menuju stadion dengan heboh pada 1 Oktober 2022.

Tiga dari 10 Aremania tersebut adalah M. Yulianton (40), Devi Ratna Sari (30) dan M. Alfiansyah (11). Mereka adalah satu keluarga. Ayah mereka adalah seorang Aremaniac yang sering menonton pertandingan ketika dia masih muda.

Adapun Devi dan Alfiansyah, sore itu merupakan pengalaman pertama mereka datang ke Stadion Kanjuruhan dan memberikan dukungan kepada Arema FC. Malam itu, mereka semua berada di Tribun 14 Stadion Kanjuruhan Malang.

Laga Arema FC melawan Persebaya Surabaya memang menjadi laga besar yang sarat perebutan gengsi bagi kedua tim dan pendukungnya. Malam itu, ada sekitar 42.000 suporter yang memadati stadion.

Pertandingan berjalan lancar hingga peluit akhir dibunyikan oleh wasit Agus Fauzan Arifin, dengan skor 2-3 untuk kemenangan tim tamu. Stadion Kanjuruhan hanya dihadiri oleh suporter Arema FC, tidak ada kuota tiket untuk suporter tim tamu.

Sejumlah suporter yang merasa kecewa dengan kekalahan tim kebanggaannya, turun ke lapangan. Dengan banyaknya suporter yang turun ke lapangan, akhirnya banyak diikuti oleh suporter lainnya.

Terjadi kekacauan. Kerusuhan ini tidak terjadi antara sesama suporter Arema FC, melainkan antara Aremania dengan aparat keamanan yang malam itu bertugas di area stadion. Petugas kemudian menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa.

Namun, tembakan gas air mata tidak hanya ditujukan kepada suporter yang berada di lapangan. Gas air mata ditembakkan ke tribun penonton, di mana masih ada ribuan orang, termasuk wanita dan anak-anak, yang belum meninggalkan arena.

Gas air mata dalam pertandingan sepak bola jelas dilarang oleh otoritas sepak bola dunia, FIFA. Hal ini dinyatakan dalam Peraturan Keselamatan dan Keamanan Stadion FIFA, Pasal 19 tentang Pramugari di pinggir lapangan huruf b larangan penggunaan senjata api atau gas untuk mengendalikan massa.

Tembakan gas air mata membuat panik ribuan penonton di Stadion Kanjuruhan. Ribuan penonton yang berada di tribun berusaha keluar agar tidak terkena tembakan gas air mata.

Anton, Devi, dan Alfiansyah yang berada di Tribun 14 juga terkena tembakan gas air mata yang dilakukan petugas. Ketiganya kemudian berusaha segera menuju pintu keluar, untuk menyelamatkan diri.

Namun, hanya Alfiansyah yang berhasil keluar dari arena Stadion Kanjuruhan dengan selamat. Kedua orang tua telah membawa (dibawa oleh) suporter lain yang berhasil keluar dari stadion dalam kondisi tewas. Alfiansyah kini tiba-tiba menjadi yatim piatu.

Sementara itu, kondisi di dalam gedung VIP Stadion Kanjuruhan, mulai panik. Pada awalnya hanya ada satu atau dua kelompok pendukung yang membawa rekan mereka dalam kondisi lemas karena terkena gas air mata. Beberapa ledakan terdengar dari dalam gedung.

Dalam waktu yang sangat singkat, rombongan suporter memasuki area VIP Stadion Kanjuruhan bersama rekan-rekannya yang mengalami sesak napas, pingsan, hingga ada yang sudah dalam kondisi tidak bernyawa.

Kondisi lorong gedung VIP Stadion Kanjuruhan bisa dikatakan seperti rumah sakit yang dipenuhi pasien yang membutuhkan penanganan medis dengan cepat. Namun, petugas medis yang berada di stadion malam itu terbatas.

Para petugas medis yang sedang bertugas saat itu juga kewalahan dengan banyaknya korban yang tidak sadarkan diri. Proses evakuasi dan upaya penyelamatan korban tidak hanya melibatkan tenaga medis, melainkan seluruh masyarakat yang berada di lokasi, termasuk para jurnalis.

Apa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan malam itu benar-benar memilukan dan menggugah perasaan. Eskalasi kerusuhan terjadi cukup cepat, termasuk jumlah korban.

Jeritan sejumlah rekan pendukung yang meminta bantuan terus terdengar dari berbagai titik di dalam gedung. Ada petugas medis yang mencoba memberikan pertolongan dengan melakukan resusitasi jantung dan paru (RJP). Namun, korban tidak terselamatkan.

Saat itu korban terbaring di salah satu aula VIP Stadion Kanjuruhan. Sedangkan di depan gedung, kondisinya juga tidak jauh berbeda. Aremania yang membantu rekan-rekannya berusaha membawa mereka ke rumah sakit terdekat.

Proses evakuasi korban dari Stadion Kanjuruhan ke sejumlah rumah sakit terdekat tidak hanya menggunakan ambulans. Truk TNI, Polri, dan sejumlah kendaraan lainnya juga dikerahkan untuk mengangkut korban yang mencapai ratusan orang.

Bergeser ke pintu tribun, kondisinya jauh lebih memprihatinkan. Berdasarkan sejumlah saksi yang selamat, pintu yang menjadi satu-satunya jalan keluar itu hanya dibuka dengan ukuran yang sangat kecil.

Sebagai gambaran, di pintu masuk 14 terdapat satu gerbang besar dengan dua pintu kecil di tengahnya. Desain yang digunakan, pintu besar harus bisa digeser untuk memudahkan akses keluar masuk.

Namun, malam itu, hanya dua pintu kecil (berukuran normal) yang terbuka. Sedangkan pintu besar yang desainnya bisa digeser, malam tidak terbuka. Ribuan orang yang berusaha meninggalkan arena harus berdesak-desakan untuk sampai ke pintu kecil itu.

Akibat kejadian tersebut, sebanyak 131 orang meninggal dunia, 440 orang luka ringan, dan 29 orang luka berat. Harganya benar-benar sangat mahal untuk sebuah pertandingan sepak bola.


Tingkatkan standar keamanan kipas

Berkaca dari kejadian tersebut, harus diakui bahwa salah satu pemicu korban tewas adalah gas air mata yang ditembakkan untuk membubarkan massa. Banyak dari korban yang meninggal mengalami asfiksia atau penurunan kadar oksigen dalam tubuh.

Namun, kondisi Stadion Kanjuruhan juga memiliki peran penting, terutama ketika terjadi kerusuhan yang menyebabkan ribuan suporter panik dan berusaha meninggalkan arena dalam waktu yang sangat singkat dalam waktu yang bersamaan.

Bahkan, pelajaran berharga dapat diambil dari salah satu skema penerapan keselamatan pada pesawat. Memang, jumlah orang di pesawat tidak sebanding dengan jumlah orang di stadion.

Namun, skema evakuasi dunia penerbangan harus diakui sebagai salah satu yang terbaik. Prosedur dalam dunia penerbangan mengharuskan pramugari untuk menginformasikan kepada penumpang pintu mana yang dapat digunakan dalam keadaan darurat.

Tentunya hal ini juga harus dibarengi dengan jumlah pintu masuk atau keluar dari pesawat dalam keadaan darurat. Setidaknya, untuk pesawat berukuran sedang terdapat empat pintu utama dan empat pintu darurat untuk proses evakuasi 189 penumpang.

Apa yang sebenarnya terlihat sederhana menjadi salah satu kunci utama dalam menghadapi berbagai kondisi darurat yang juga harus diterapkan di stadion, khususnya di Indonesia.

Dalam konferensi pers di Kota Malang, Kamis (6-10), Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo mengatakan PT Liga Indonesia Baru selaku penyelenggara tidak melakukan verifikasi terhadap Stadion Kanjuruhan.

Verifikasi terakhir dilakukan pada tahun 2020, dengan sejumlah catatan penting terkait keselamatan penonton. Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) juga menyatakan banyak stadion di Indonesia yang tidak memenuhi standar FIFA.

Soal keselamatan penonton di stadion, pihak berwenang atau pemangku kepentingan tidak boleh memberikan toleransi yang bisa menimbulkan korban jiwa.

Dunia persepakbolaan Indonesia harus lebih memperhatikan keselamatan penonton dalam kondisi apapun, termasuk saat terjadi kerusuhan. Kesedihan Kanjuruhan harus menjadi pelajaran penting bagi seluruh pemangku kepentingan sepakbola di tanah air.

Kehilangan satu nyawa akibat pertandingan sepak bola sudah terlalu banyak, sedangkan tragedi yang terjadi di Stadion Kanjuruhan telah menelan 131 korban jiwa, dan merupakan tragedi terbesar kedua dalam sepak bola di dunia.

Keamanan penonton harus diutamakan. Saatnya berbenah meski sudah terlambat agar tidak ada lagi korban akibat sepak bola di Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published.