Tekno  

Ubah Banjir Menjadi Cadangan Air Tanah, Proyek Percontohan Teknologi Terintegrasi Tanpa Limpasan di Meteseh

Suasana acara sosialisasi teknologi zero run-off yang diselenggarakan oleh Yayasan Anak Bangsa Bisa (YABB), bersama para changemakers di Hetero Space Kota Semarang, Kamis (13/10/2022). (Foto. YABB)

SEMARANG (Sigi Jawa Tengah) – Teknologi zero run-off mulai disosialisasikan di Desa Meteseh, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang. Tujuannya, kawasan di atas Semarang yang sering terkena banjir akan dijadikan pilot project untuk menambah cadangan air tanah.

Sosialisasi teknologi zero run off diselenggarakan oleh Yayasan Anak Bangsa Bisa (YABB), bersama para changemakers di Hetero Space, Kota Semarang, Kamis (13/10/2022).

Teknologi zero run-off berupa pemasangan terintegrasi antara PoreBlock atau paving block berpori dan sumur resapan.

Dalam acara tersebut, sebelum nara sumber menyampaikan materi, seorang peserta bernama Sigit menceritakan kepada peserta dan nara sumber, selama hidupnya di kota Semarang tidak pernah jauh dari banjir.

“Selama 40 tahun saya tinggal di Semarang Utara dan selalu merasakan banjir. Makanya saya pindah ke Meteseh, semoga tidak banjir, tapi tetap banjir,” ujarnya.

Seluruh peserta dan nara sumber yang hadir dalam forum Semarang Berdaya terdiam saat Sigit berbagi pengalamannya. Dari pengalamannya, Sigit berharap ada solusi untuk mengelola banjir di Kota Semarang.

“Dua belas tahun di Meteseh, banjir selalu mengintai, apalagi pengembang perumahan dari tempat saya mengungsi. Hingga saat ini warga mencari solusi untuk mengatasi banjir,” ujarnya dalam forum tersebut.

Kisah Sigit juga mendasar, karena identifikasi yang dilakukan ReservoAir dan Liberates Creative Colony, Desa Meteseh merupakan kawasan rawan banjir.

Dari identifikasi yang dilakukan pada tahun 2021, Kota Semarang dilanda 432 bencana alam, 63,11 persen di antaranya merupakan bencana hidrometeorologi.

Pada tahun yang sama, kasus banjir melanda Meteseh berulang kali dan membawa kerugian sosial ekonomi hingga 100 orang dalam setiap kasus.

Bencana banjir di Meteseh disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan, perubahan iklim, alasan geografis dan perilaku masyarakat.

Keluhan Sigit juga ditanggapi oleh Monica Oudang, Ketua YABB. Menurutnya, masyarakat di Meteseh dan daerah lain di Kota Semarang membutuhkan solusi yang bisa berdampak lebih cepat dan luas.

“Itulah alasan YABB dan Catalyst Changemakers Ecosystem (CCE) hadir di Meteseh, kami menghadirkan inovasi yang mudah diterapkan dan direplikasi sehingga bisa mencegah banjir,” ujarnya.

Kepala Bappeda Kota Semarang, Budi Prakoso, juga mendukung inovasi untuk mengurangi dampak banjir.

“Saat ini, berbagai bentuk pengendalian banjir telah dilakukan di Kota Semarang, seperti pembangunan tanggul, polder, pompa, dan bendungan. Namun itu belum cukup, kami masih membutuhkan kerjasama dengan berbagai pihak untuk mempercepat dan memperluas dampak di Semarang. Kota,” katanya.

Menyadari urgensi masalah bencana hidrometeorologi di Kota Semarang, maka dilakukan penyiapan solusi inovatif melalui Catalyst Changemakers Lab (CCL).

Berkolaborasi dengan pemangku kepentingan multisektoral, para changemakers akhirnya menghadirkan solusi berbasis ekosistem di lapangan yang memadukan optimalisasi teknologi dan pemberdayaan masyarakat di lapangan.

Meteseh dihuni oleh 24.195 jiwa.

Dua solusi utama yang diterapkan di Desa Meteseh, Semarang adalah teknologi dan pendidikan zero run-off yang terintegrasi.

“Solusi pertama adalah pemasangan teknologi terintegrasi antara PoreBlock dan sumur resapan. PoreBlock produksi kami memiliki tingkat infiltrasi 100 kali lebih cepat dari paving block konvensional. Solusi ini bisa

mengurangi kerugian akibat banjir bagi lebih dari 100 warga yang paling terdampak banjir,” kata Anisa Azizah, perwakilan changemakers CCE Kota Semarang.

Ia melanjutkan, keunggulan lain dari solusi ini adalah integrasi antara PoreBlock dan sumur resapan yang dapat memiliki resapan air lebih luas dan menyerap air lebih cepat dibandingkan jika kedua komponen tersebut berjalan.

terpisah.

“Dengan demikian, solusi yang dibangun di 18 titik dengan luas permukaan total 1,5 ribu meter persegi ini akan mengurangi limpasan air sebesar 39 ribu liter per tahun dan menjadikan air tersebut sebagai cadangan air tanah,” jelas Anisa.

Anisa menambahkan, solusi kedua adalah mengedukasi 150 keluarga tentang langkah-langkah pencegahan bencana hidrometeorologi.

“Kami berharap mereka bisa menularkan ilmu ini ke masyarakat luas. Selain itu, kami juga akan mempromosikan teknologi zero run-off untuk membangun antusiasme masyarakat untuk mereplikasi solusi ini melalui pameran yang ditargetkan mencapai 700 orang pada Hari Air Sedunia tahun depan,” tambahnya.(Mushonifin)

Berita terbaru:

Leave a Reply

Your email address will not be published.