Tekno  

Urgensi Literasi Digital untuk Mencegah “Nastyzen”

Masih ingat dengan polemik tim Indonesia yang terpaksa mundur akibat dampak kasus COVID-19 saat pertandingan bulu tangkis All England tahun 2021? Netizen Indonesia menyerbu akun media sosial World Badminton Organization (BWF) dengan berbagai komentar negatif dan merendahkan sehingga pengelola media sosial menonaktifkan kolom komentar di akun BWF tersebut. Sejumlah akun media sosial pribadi yang namanya mirip dengan nama wasit yang mengawasi pertandingan juga diserang secara pribadi, meski yang diserang tidak tahu apa-apa. Satu akun bahkan bukan milik wasit, tapi milik aktor komedi Inggris.

Cemoohan serupa juga menghujani akun media sosial “dprlive” selama pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang. Ribuan warganet mem-posting ribuan komentar yang tak lagi sekadar kritik membangun, melainkan hinaan, di akun legislator itu. Sejumlah komentar pedas pun bermunculan di akun rapper asal Korea Selatan, Hong Da Bin, hanya karena inisialnya yang mirip dengan singkatan DPR RI.

Masih ada lagi! Netizen Indonesia geram dengan kasus seorang selebriti nasional yang meninggal dalam kecelakaan yang melibatkan mantan pacarnya, menggerebek akun dengan nama yang sama dengan selebriti tersebut. Salah satu akun tersebut ternyata milik seorang jurnalis asing dan bukan akun selebriti yang dimaksud. Wartawan itu bahkan menulis bantahan yang menegaskan bahwa dia sehat dan tidak mati.

Netizen Indonesia Tidak Etis?

Ini adalah gambar aksi beberapa warga negara Indonesia atau netizen yang berulang kali terjadi di media sosial. Praktisi media sosial, Lintang Ratri, mengatakan bahwa tanggapan warganet Indonesia yang menghujani komentar di akun media sosial tertentu dengan cara yang negatif, tidak sopan, dan menghina merupakan bentuk rendahnya etika di media sosial. Perbuatan netizen ini, terang Lintang, kerap dijadikan plesetan dengan istilah “nastyzen” – diambil dari kata bahasa Inggris “nasty” – yang merupakan julukan bagi netizen nakal.

“Di Tiktok ada lagu viral selamat datang di Indonesia, selamat datang di Nastyzen. Bukan netizen. Nastyzen artinya menjijikan, nakal. Netizen kita sangat nakal sehingga bahkan ketika Microsoft dijentik tentang kesopanan, netizen kita lebih galak, lebih ganas. Prestasinya bukan hanya peringkat 1 soal ketidaksopanan di media sosial, juga cyber bullying,” jelas Lintang saat menjadi narasumber webinar baru-baru ini yang diadakan Ikatan Cendekiawan Komunikasi ISKI Indonesia dengan tema “Melek Digital, Susah? “

Masih banyak netizen yang belum memiliki literasi digital dalam menggunakan media sosial.

Masih banyak netizen yang belum memiliki literasi digital dalam menggunakan media sosial.

Literasi digital, jelas Lintang, menjadi kunci penting untuk menyadarkan warganet dalam menggunakan media sosial. Termasuk bagaimana seseorang mengetahui dan menggunakan teknologi komunikasi dan informasi yaitu internet secara positif.

“Dengan internet, media sosial adalah alat, alat. Itu semua tergantung orang yang menggunakannya, maknanya bisa berbeda. Jika ingin menggunakannya untuk hal-hal negatif, itu akan buruk. positif, akan lebih bermanfaat. Mengapa kita harus khawatir dengan perkembangan teknologi ini. Ya, manfaatkan. digital space, media sosial kita untuk nilai tambah,” kata Lintang.

Media sosial sebagai produk internet, jelas Lintang, penggiat media sosial asal Japelidi, Jawa Tengah, harus dimanfaatkan secara optimal. Konten media sosial yang dikejar demi menjadi viral dengan melakukan cara-cara berbahaya dan tidak etis masih menjadi sorotan.

Media sosial memiliki berbagai sudut pandang. Di satu sisi menjadi sarana hiburan atau entertainment. Di sisi lain, sumber informasi dan pilar demokrasi juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan perekonomian.

Pakar Komunikasi: Media Sosial Bukan Media Privasi

Pakar komunikasi Universitas Padjadjaran, Profesor Eni Maryani, mengatakan masyarakat Indonesia masih belum bisa membedakan penggunaan media sosial sebagai ruang publik atau privat, sehingga etika bermedia sosial rendah. Ia menyarankan untuk tidak menggunakan media sosial saat kondisi pribadi masih emosional.

“Di kehidupan nyata, kita tahu siapa yang harus diajak bicara, teman, menggunakan bahasa ini, dengan orang lain, jadi gunakan bahasa lain. Kami belajar banyak, tahu banyak. Beda dengan dunia digital, media sosial. Kami’ masih komen di akun teman, ribut & tawuran, maka semua pemilik akun yang bergabung dengan akun yang bersangkutan akan tahu. Ini masalah etika di media sosial, orang sering lupa. Etika medis sosial, jika itu pribadi, bicarakan saja dengan Orang yang bersangkutan. Bukan di media sosial. Kalau marah, tidak sadar, emosi, jangan main-main dengan media sosial dulu,” jelas Eni.

Etika di media sosial kini sering menjadi acuan bagi instansi dalam merekrut pegawai. Tim HRD, kata Eni, kini tengah melacak akun media sosial untuk mengetahui rekam jejak karyawan yang melamar di perusahaannya.

Media Sosial: Periksa dan Verifikasi Sumber Informasi

Media sosial menjadi sarana penyebaran informasi tercepat saat ini. Dalam hitungan detik, berbagai informasi dari berbagai belahan dunia bisa dinikmati. Faktor karakter dan kalimat yang meyakinkan dalam menyebarkan informasi di media sosial yang viral masih menjadi budaya di Indonesia. Seringkali, jelas Eni, netizen tidak memverifikasi apakah informasi tersebut akurat atau palsu. Meski rekam jejak digital seseorang dari akun media sosial bisa dihapus, tapi tidak bisa dihapus, tegasnya.

“Kalau menulis atau membagikan postingan di media digital, media sosial, meskipun bisa dihapus, tidak bisa dihapus. Itu disimpan di penyedia platform media sosial. Rekam jejak digital yang kejam kan?” pungkas Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran itu. [ys/em]

Leave a Reply

Your email address will not be published.